Rabu, 11 Juni 2014

budaya sumatra utara



PENDAHULUAN

          Kita mengetahui bahwa perkembangan seni budaya di sumatra utara ini kurang baik , maka dari itu kita harus bisa melestarikan seni budaya tradisional sumatra utara.
Secara historis, seni sangat terkait dengan budaya kita . Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak lama, nenek moyang suku-suku di sumatra telah mulai membuat kesenian brupa tarian, rumah adat, alat-alat musik dan tari-tarian, yang menggambarkan  bagian-bagian penting dari kehidupan.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangan bernilai karna selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa.

Karena budaya merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan katalain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus di jaga di lestarikan srtiap suku bangsa.

             Disini kami akan membagi sedikit informasi tentang beragam jenis suku, seni, dan makanan khas yang ada di sumatra utara.

Suku Melayu


masyarakat Melayu ini menjadi bahagian integral dari Dunia Melayu Dunia Islam, dan Indonesia. Orang Melayu biasanya mendefinisikan kelompoknya sebagai orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, memakai adat Melayu dan berbagai persyaratan tempatan. Orang-orang Melayu di Sumatera Utara (dahulu Sumatera Timur) memiliki wilayah budaya dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu. Mereka juga mempunyai kategorisasi integrasi masyarakatnya yang terdiri dari: Melayu asli, Melayu semenda, dan Melayu seresam. Melayu asli adalah golongan yang secara keturunan merupakan orang-orang dari puak Melayu apakah Sumatera atau Semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Melayu semenda adalah orang yang bukan etnik Melayu tetapi masuk menjadi Melayu karena faktor perkawinan. Sedangkan Melayu seresam adalah orang yang masuk menjadi Melayu diakui sebagai Melayu karena mengamalkan resam Melayu.
Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara terdapat genre lagu yang berkaitan dengan anak. Di antaranya adalah Lagu Membuai Anak, yaitu nanyian yang dipergunakan untuk menidurkan anak. Selain itu dikenal pula lagu Dodoi Sidodoi atau Dodoi Didodoi, yaitu lagu yang juga untuk menidurkan anak. Di kawasan Asahan terdapat lagu Si La Lau Le yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan anak. Kemudian ada juga lagu Timang yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan anak. Seterusnya ada satu lagu lagu yang bertajuk Tamtambuku yang digunakan untuk permainan anak. Musik yang berkaitan dengan mengerjakan ladang. Musik ini contohnya adalah: Lagu Dedeng Mulaka Ngerbah, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat awal kali menebang hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Kemudian ada pula lagu yang bertajuk Dedeng Mulaka Nukal, yaitu nyanyian yang disajikan pada saat menukal (melubangi dan mengisi lubang tanah dengan padi), sebagai proses penanamn. Kedua jenis lagu tersebut secara umum dikenal pula dengan istilah Dedeng Padang Rebah. Lagu-lagu ini terdapat di bahagian utara Pesisir Timur Sumatera Utara, seperti di Langkat dan Deli. Nyanyian hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks bekerja juga terdapat dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya dilakukan dalam rangka bercocok tanam, bekerja menyiangi gulma, menuai benih, mengirik padi, menumbuk padi, sampai menumbuk emping. Begitu juga dengan nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan Sinandung Nelayan atau Sinandung Si Air yang dijumpai di kawasan Asahan dan Labuhanbatu. Musik yang berhubungan dengan memanen padi. Ragam ini terdiri dari Lagu Mengirik Padi atau Ahoi, yaitu lagu dan tarian memanen padi—melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara menginjak-injaknya. Posisi para penari biasanya membentuk lingkaran. Kemudian ada pula Lagu Menumbuk Padi yaitu lagu yang disajikan pada saat menumbuk padi, melepaskan kulit padi menjadi beras. Seterusnya adalah Lagu Menumbuk Emping yaitu lagu yang dinanyikan pada saat memipihkan beras menjadi emping. Musik yang memperlihatkan ekspresi masa animisme. Adapun contoh lagunya adalah Dendang Ambil Madu Lebah yaitu lagu yang dipergunakan untuk mengambil madu lebah yang dilakukan seorang pawang madu lebah. Contoh lainnya adalah Lagu Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan kadang disebut pula Senandung atau Nandung saja, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh nelayan untuk memanggil angin agar menghembus layar perahu (sampannya). Lagu ini yang terkenal adalah Senandung Asahan, senandung Bilah, Senandung Panai, dan Senandung Kualuh. Contoh genre ini adalah Lagu Lukah Menari, yaitu lagu untuk mengiringi nelayan menjala ikan. Berikutnya adalah Lagu Puaka, yaitu lagu yang dinyanyikan pada upacara yang bersifat animistik, memuja roh-roh ghaib. Bagaimanapun lagu ini dilarang oleh alim-ulama Islam, sehingga lagu ini saat sekarang tinggal tersisa bagi mereka-mereka yang mengamalkannya saja. Nyanyian naratif, yaitu nyanyian yang sifatnya bercerita. Contohnya adalah Lagu Hikayat, yaitu nyanyian tentang cerita rakyat, sejarah, dan mite. Contoh lainnya adalah Syair dengan berbagai judul, yang terkenal adalah Syair Puteri Hijau tulisan A. Rahman tahun 1959. Musik hiburan, yang terdiri dari Lagu Dedeng yaitu lagu solo tanpa iringan alat musik untuk hiburan pada pesta perkawinan atau panen.
Lagu lainnya adalah Musik Tari Pencak Silat yaitu musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari pencak silat, yang gerakannya diambil dari pencak silat, gerakan-gerakan mempertahankan diri dari serangan musuh. Kemudian lagu pendukung genre ini adalah Musik Tari Piring atau Musik Tari Lilin atau Musik Tari Inai, yaitu musik yang dipakai untuk mengiringi Tari Piring, Tari Lilin, atau Tari Inai. Genre musik lainnya adalah yang kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat dirinci lagi sebagai berikut. Yang khusus merupakan kegiatan keagamaan Islam dan dipandang lebih dari sekedar musik adalah azan, yaitu merupakan seruan untuk sembahyang. Kemudian takbir, yaitu nyanyian pujian kepada Allah pada Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Ada juga lagu dan musik rakyat Islam, di antaranya adalah qasidah, yaitu nyanyian solo tanpa iringan musik, menggunakan teks-teks agama seperti dari Kitab Al-Barzanji. Ada pula marhaban, yaitu nyanyian paduan suara yang menggunakan teks-teks keagamaan seperti dari Kitab Al-Barzanji. Kemudian ada pula lagu Kur Semangat yaitu nyanyian yang bersifat religius tanpa diiringi oleh alat musik. Selanjutnya ada barodah yaitu nyanyian yang menggunakan teks keagaman dan umumnya diiringi oleh alat musik. Selain itu ada hadrah, yaitu nyanyian sekelompok pria yang disajikan dengan teknik responsorial atau antifonal, mempergunakan teks-teks religius dengan iringan alat musik rebana berbentuk frame disertai dengan tarian. Selanjutnya ada genre gambus atau zapin adalah nyanyian dan tarian tentang moral atau religius yang disajikan secara solo, diiringi oleh suatu ensambel gendang marwas dan alat musik gambus disertai oleh tarian yang mengutamakan gerakan kaki. Genre lainnya kelompok ini adalah dabus, yaitu nyanyian tarian trance (seluk) untuk memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam seperti dari besi karena ridha Allah. Diiringi oleh gendang berbentuk frame dan penyanyi solo atau berkelompok.
Di dalam budaya Melayu Sumatera Utara, tarian Melayu berdasarkan akar budaya dan fungsinya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
 (1) Tarian Melayu yang mengekspresikan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, contohnya tari Ahoi (mengirik padi), Mulaka Ngerbah (menebang hutan), Mulaka Nukal (menanam benih padi ke lahan pertanian) dan lainnya. 
(2) Tarian Melayu yang mengekspresikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan nelayan, contohnya tari Lukah Menari (menggunakan jala untuk menangkap ikan), Tari Jala (membuat jala), Gubang (tarian yang mengekspresikan nelayan yang memohon kepada Tuhan agar angin diturunkan supaya mereka dapat belayar kembali, pada saat mengalami kematian angin di lautan), Mak Dayu (tarian yang mengekspresikan hubungan nelayan dengan kehidupan ikan-ikan di laut), tari Belian (tari pengobatan dalam budaya masyarakat nelayan) dan lainnya, 
(3) Tarian yang meniru atau mimesis kegiatan alam sekitar, misalnya Ula-ula Lembing (meniru gerakan-gerakan ular), Tari Pelanduk (meniru gerak pelanduk). 
(4) Tarian yang berkaitan dengan kegiatan agama Islam, contohnya hadrah (puji-pujian terhadap Allah dan Nabi-nabi), zapin (tarian yang diserap dari Arab dengan pengutamaan pada gerakan kaki); rodat, adalah tarian yang mengungkapkan ajaran agama Islam. Rodat dipercayai dibawa oleh para pedagang dari Sambas dan Pontianak ke istana Terengganu dan Sumatera Utara dan selalu dipertunjukkan pada waktu perayaan istana kerajaan. 
(5) Tarian yang berkaitan dengan kekebalan contohnya Dabus
(6) Tarian yang fungsi utamanya hiburan, dan menyadur berbagai unsur budaya seperti Barat, Timur Tengah, India, China, dan lain-lain. Misalnya ronggeng dan joget, yang repertoarnya terdiri dari senandung, mak inang, dan lagu dua, ditambah berbagai unsur tari etnik Nusantara dan Barat, termasuk juga tari yang dikembangkan dari genre ronggeng/joget seperti Mak Inang Pulau Kampai, Melenggok, Lenggang Patah Sembilan, Lenggok Mak Inang, Persembahan, Campak Bunga, Anak Kala, Cek Minah Sayang, Makan Sireh, Dondang Sayang, Gunung Banang, Sapu Tangan, Asli Selendang, Tari Lilin, Tudung Periuk, dan yang paling populer adalah Tari Serampang Dua Belas
(7) Tari yang berkaitan dengan olah raga, misalnya pencak silat atau tari silat dan lintau. 
(8) Tarian yang berkaitan dengan upacara perkawinan atau khitanan, yaitu tari inai (disebut juga tari piring atau lilin). Tari ini juga dipersembahkan di istana raja-raja Melayu di Sumatera Utara (Timur) pada saat golongan bangsawan khatam Al- Quran. 
(10) Tari-tarian dalam teater Melayu, seperti dalam makyong, bangsawan,  mendu dan sebagainya.           (11) Tarian garapan baru, yaitu tari-tari yang diciptakan oleh para pencipta tari Melayu pada masa-masa lebih akhir dalam sejarah tari Melayu yang berdasarkan kepada perbendaharaan tari tradisional, misalnya tari: Ulah Rentak Angguk Terbina, Zapin Mak Inang, Zapin Menjelang Maghrib, Zapin Deli, Zapin Serdang, Daun Semalu, Rentak Semenda, Ceracap, Lenggang Mak Inang, Senandung Mak Iinang, Tampi, Mak Inang Selendang, Zapin Kasih dan Budi, Demam Puyoh, dan lain-lain.

Gambar Tarian

Tari Tandak Riau Macam Macam Tarian Tradisional Indonesia


Tari Joged Lambak 300x207 Macam Macam Tarian Tradisional Indonesia

Tari Serampang Dua Belas Sumatera Utara 300x225 Macam Macam Tarian Tradisional Indonesia

Suku Karo


etnik Karo mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut merga silima. Sistem ini adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam lima merga (klen) besar: 
(1) Ginting
(2) Sembiring
(3) Karo-karo
(4) Parangin-angin, dan 
(5)Tarigan
Setiap merga ini terbagi lagi ke dalam merga-merga kecil. Istilah merga berasal dari kata meherga, yang artinya adalah mahal atau berharga. Istilah ini melekat pada lelaki yang berstatus sebagai penerus keturunan dan mewarisi nama merga. Bagi perempuan istilah yang dipergunakan adalah beru, yang berasal dari kata mberu yang artinya adalah cantik. Selain itu, masyarakat Karo mengenal istilah rakut sitelu, yaitu pengelompokkan tiga struktur sosial: 
(1) kalimbubu (fihak pemberi isteri); 
(2) anak beru (fihak penerima isteri, dan 
(3)senina yaitu orang satu merga.
Pada masa sekarang, masyarakat Karo beragama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan sebahagiannya Pemena, yaitu religi pra-Kristen dan Islam. Nilai-nilai religi Pemena ini sebahagian ditransformasikan hingga kini. Para penganut religi Pemena mempercayai adanya pencipta alam semesta yang disebut Dibata Kaci-kaci. Mereka juga mempercayai adanya tiga alam: 
(1) Banua Datas alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Datas yang bernama Guru Batara Datas
(2) Banua Tengah yang dikuasai oleh Dibata Tengah yang bernama Tuan Paduka ni Aji, dan 
(3) Banua Tero yang dikuasai Dibata Teroh yang bernama Tuan Banua Koling.


Di dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk para pemusik adalah sierjabaten, yang secara denotatif artinya adalah yang memiliki tugas. Sierjabaten terdiri dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik dalam etnosains tradisional Karo mereka memiliki nama masing-masing, yaitu: pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggual, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho.
Istilah landek dalam bahasa Karo adalah memiliki denotasi yang hampir sama dengan tari dalam bahasa Indonesia. Menurut masyarakat Karo,masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangantertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifatmanusia maupun hubungan seseorang dengan orang lain di dalarn kehidupansosialnya. Secara garis besar tari Karo dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 
(1) tarireligius, 
(2) tari adat, dan 
(3) tari muda-mudi. 
Di antara tari religius adalah: tari guru, mulih-mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut.Tari-tarian tersebut biasanya dibawakan oleh golongan dukun atau guru. Tarianadat biasanya dilakukan pada upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah golongan keluarga dekat, antara lain anak beru, kalimbubu, dan senina. Jadi tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan penuh penghormatan. Pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tak begitu mengikat. Hanya usaha untuk menunjukkan kelincahan dan keindahan menari. Tari ini lebih menekankan fungsi hiburannya, oleh karena itu sering dilakukan bersama-sama denganperkolong-kolong dengan membentuk pasangan menari.

Gambar tarian

 Indahnya Tari Landek Tanah Karo Simalem



Batak Toba

sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu: 
(1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya, 
(2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, 
(3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, 
(4) homban (mata air), 
(5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). 
Pada masa kini, wilayah kebudayaan etnik Batak Toba adalah daerah yang sebagian besar termasuk Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir, yang mengitari Danau Toba. Letaknya di sebelah tenggara Kota Medan. Luas daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km². Umumnya tanah kawasan ini terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah berada pada 2º-3º Lintang Utara dan 98º-99,5º Bujur Timur (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 1982:35). Religi selain agama Kristen dan Islam, dan masih ada pengikutnya sampai kini, yang dianut oleh sebilangan masyarakat Batak Toba adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudamdam. Religi-religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebahagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si Singamangaraja XII. Menurut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu Parmalim; dan sebagai gerakan religi berani amti, yaitu Parhudamdam (Batara Sangti 1977:79). Selepas perang Lumban Gorat balige pada tahun 1883, seorang keperayaan Raja Si Singamangaraja XII yang bernama Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang disebut Parmalim (Batara Sangti 1977:79).
Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yang di dalamnya terdapat unsur-unsur ajaran Kristen dan Islam, dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua. Unsur-unsur kedua agama tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan para penganutnya seperti di Barus Hulu, Humbang Barat, Tanggabatu (Tampahan), Sigaol (Uluan), Simalungun, Serdang Hulu, dan Dairi. Di Tanah Karo dinamakan Silimin (Sangti 1977:60). Namun setelah tersebarnya agama Kristen dengan pesat sejak tahun 1862 di Tanah Batak, penganut agama tersebut di atas semakin berkurang. Pada masa kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah pimpinannya, misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan rapat pendeta pada 3 Februari 1903, penginjilan diperluas ke daerah Simalungun dan Karo, dan ternyata berhasil dengan baik .
Bila diperhatikan lebih jauh, khusus tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite1 dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang kalau diurutkan juga sebagai keturunan dari Debata Mula Jadi na Bolon, yaitu dewa yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam sisetm religi Batak Toba. Melalui marga orang-orang Batak Toba bisa mengadakan partuturan (mencari hubungan kekerabatan) yang merupakan salah satu aspek mendasar dalam dalihan na tolu, yang selalu diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Dalihan na tolu berarti tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang digunakan untuk memasak. Konsep tersebut diterapkan pada sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: 
(1) dongan sabutuha (teman semarga); 
(2) hula-hula (keluarga dari pihak istri); 
(3) boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).

Pedoman bersikap antara ketiga kelompok kekerabatan itu tergambara dalam konsep: 
(1) molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan dongan sabutuha(teman semarga); 
(2) molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin keturunan banyak hormatilah hula-hula dan 
(3) molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya, baik-baiklah kepada boru.

Kebudayaan musik dalam masyarakat Batak Toba disebut dengan gondang. Berbicara mengenai seni musik (gondang) yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu musik vokal (ende) dan musik instrumentalia (gondang). Musik vokal Batak Toba mempunyai latar belakang yang erat hubungannya dengan pandangan hidup, pergaulan, maupun kegiatan atau kehidupan sehari-hari masyarakat ini.
Musik vokal etnik Batak Toba secara umum diidentifikasikan sebagai ende, yang secara taksonomis dibagi berdasarkan fungsi dan tujuan lagu yang dilihat melalui isi liriknya. Adapun jenis-jenis ende itu adalah sebagai berikut. 
(1) Ende mandideng, adalah nyanyian yang berfungsi untuk menidurkan anak. 
(2) Ende Sipaingot yaitu musik vokal yang teksnya mengandung isi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Ende ini dinyanyikan pada waktu menjelang dilangsungkannya pernikahan tersebut. 
(3) Ende tumba, yaitu musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Dinyanyikan sekaligus ditarikan sambil melompat-lompat dan berpegangan tangan membentuk lingkaran. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para remaja di halaman rumah pada malam terang bulan. 
(4) Ende sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan, yang menimpa seseorang ataupun sebuah keluarga. Ende ini biasanya dinyanyikan oleh orangorang tersebut di tempat yang sunyi. 
(5) Ende pasu-pasuan, yaitu musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan, berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua pada keturunannya. 
(6) Ende hata, adalah sebuah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritme yang disajikan secara resitasi. Liriknya berupa rangkaian pantun, dengan rima a-a-b-b yang memiliki jumlah suku kata yang relatif sama. Biasanya ende ini dinyanyikan oleh kumpulan anak-anak yang dipimpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orang tua. 
(7) Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal pada saat dimakamkan. 
Dalam ende andung ini melodi lagunya datang secara spontan sehingga penyanyia biasanya adalah keluarga yang meninggal haruslah sebagai penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai bebrapa melodi lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Klasifikasi lainnya musik vokal berdasarkan fungsinya adalah sebagai berikut: 
(a) ende namarhadodoan, yaitu musik vokal yang dinyanyikan untuk acara-acara marhadodoan (resmi), 
(b) ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh orang Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari, 
(c) ende sibaran yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbaai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Dalam kebudayaan musik tradisi Batak Toba, terdapat dua jenis musik yang disebut gondang sabangunan dan gondang hasapi. Kedua jenis musik tersebut dipergunakan dalam setiap aktivitas kehidupan sosial masyarakat dalam konteks yang bersifat religi, adat, maupun hiburan. Banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak Toba itu sendiri, terhadap Gondang Sabangunan, seperti: ogung, ogung sabangunan, gondang, porhas na ualu (perkakas yang delapan), dan lain sebagainya. Gondang sabangunan terdiri dari beberapa jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu: lima buah taganing, satu buah gordang, satu buah sarune bolon, empat buah gong (oloan, ihutan, panggora, dan doal), dan hesek. Gondang sabangunan biasanya digunakan pada upacara yang berkaitan dengan adat dan religi. Kegiatan dalam menggunakan gondang sabangunan pada upacara adat disebut margondang. Kegiatan ini dilakukan hampir meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Kegiatan margondang menurut tradisi asli masyarakat Batak Toba, yaitu: 
(1) margondang pesta, adalah seluruh upacara yang menggambarkan suasana kegembiraan hati, karena memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan telah lama dinantikan. Beberapa upacara yang termasuk ke dalam aktivitas ini, antara lain: Anak Tubu, Gondang Tunggal, Mangompoi Jabu, Manampe Goar, Mamestahom Huta, Partangiangan, dan Harajaon
(2) Margondang Sibaran, adalah upacara yang mengekspresikan suasana kesedihan, misalnya uapacara Margondang Angka Na Dangol, Papurpur Sapata, dan Mangondasi
(3) Margondang memele, adalah upacara yang mempunyai hubungan dengan kepercayaan asli, misalnya upacara Mamele Pangulubalang, Mamiahi Hoda, Horbo Santi, Horja Turun, Mamele Sombaon, Mangongkal Holi dan sebagainya. 
Selanjutnya adalah ensambel gondang hasapi. Menurut informasi yang diberikan Marsius Sitohang, gondang hasapi lazim disebut dengan uninguningan. Alat-alat musik gondang hasapi terdiri dari: dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), satu buah garantung (xilofon), satu buah sarune etek (shawm), sulim (side blown flute), tulila (side blown flute), sordam (end blown flute), tanggetang, gardap, dan hesek. Gondang hasapi juga digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat, dan hiburan. Pada penyajian Opera Batak, gondang hasapi juga dipergunakan, pada setiap pertunjukannya, termasuk untuk mengiringi tarombo dalam nyanyian.

Gambar Tarian




Mandailing-Angkola


 wilayah budaya etnik Mandailing-Angkola pada masa kini berada di sebagaian besar Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padanglawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas Selatan. Mandailing secara tradisional terdiri dari dua wilayah, yaitu Mandailing Godang (Mandailing Besar) yang terletak di bagian Utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu) yang terletak di bagian sebelah selatannya. Angkola terletak di bagian utara Kabupaten Tapanuli Selatan ini. Mandailing Godang meliputi wilayah Kecamatan Siabu dan Kecamatan Panyabungan, yang merupakan dataran rendah yang penuh dengan lahan persawahan, sedangkan Mandailing Julu meliputi wilayah Kecamatan Kotanopan, Muara Sipongi, dan Batang Natal, yang merupakan kawasan pegunungan dan hanya sedikit memiliki kawasan dataran rendah.
Di Kecamatan Panyabungan terdapat suku bangsa Siladang dan Lubu yang sudah sejak lama mendiami daerah ini. Akan tetapi suku ini mempunyai adatistiadat dan kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa Mandailing. Di Kecamatan Muarasipongi terdapat suku bangsa Ulu yang mempunyai adatistiadat dan kebudayaan yang berbeda juga dengan suku Mandailing. Suku bangsa Mandailing digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua) yang mempunyai persamaan ciri fisik dengan etnik: Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi-Dairi, dan Karo. Kelompok Proto Melayu ini berasal dari Tiongkok Selatan dan pindah ke wilayah Indonesia, yang diperkirakan berlangsung pada abad kedelapan atau kedau belas sebelum Masehi. Dengan melihat ciri-ciri khas bentuk fisik dan temperamennya, maka nenek moyang etnik Mandailing-Angkola termasuk rumpun Proto Melayu (H.M.D. Harahap 1986:12).
Etnik Mandailing-Angkola menganut garis keturunan patrialineal, mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut dalian na tolu ("tiga tumpuan"). Sistem kekerabatan ini terdiri dari tiga unsur fungsional yang masing-masing unsur tersebut mempunyai rasa ketergantungan antara satu
dengan lainnya yang berupa ikatan darah (genealogis) dan ikatan perkawinan. Ketiga kelompok tersebut adalah: 
(1) mora
(2) kahanggi, dan 
(3) anak boru
Mora adalah kelompok kerabat yang memberi anak perempuan atau pihak pemberi isteri. Kahanggi yaitu kelompok keluarga yang mempunyai satu garis keturunan yang sama atau disebut juga keluarga semarga. Anak boru yang merupakan pihak penerima anak perempuan atau kerabat suami (H.M.D. Harahap 1986:12).
Selain itu ada sistem sosial berdasarkan garis keturunan yang disebut marga. Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga, biasanya menempatkan nama marga di belakang namanya. Orang-orang Mandailing dan Angkola yang semarga disebut markahanggi. Di dalam masyarakat Mandailing dan Angkola, terdapat sejumlah marga, yang di antaranya adalah: Lubis, Nasution, Rangkuti, Batubara, Daulae, Pulungan, Parinduri, Matondang, Siregar, Hasibuan, dan lainnya. Di antara marga-marga ini sampai sekarang marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di Mandailing. Sedangkan di wilayah Angkola Siregar adalah marga
terbesarnya. Sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing dan Angkola, penduduknya menganut kepercayaan yang disebut Pelebegu, yaitu kepercayaan yang intinya memuja roh nenek moyang. Untuk berhubungan dengan roh nenek moyang, dilakukan upacara ritual yang dipimpin oleh seorang ahli keagamaan yang disebut sibaso. Namun setelah masuknya agama Islam, sekitar tahun 1820, kepercayaan Pelebegu ini tidak lagi dianut oleh masyarakatnya. Agama Islam yang masuk ke Mandailing dan Angkola dibawa oleh kaum Paderi dari daerah Minangkabau.
Bagi masyarakat Mandailing dan Angkola pada masa pra-Islam, musik merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan religi dan upacara-upacara adat, baik yang bersifat suka cita (siriaon) maupun duka cita (siluluton). Ensambel musik tradisional mereka dikenal dalam tiga klasifikasi: 
(1) gondang dua
(2) gondang lima, dan 
(3) gordang sambilan
Gondang adalah salah satu jenis musik yang terdapat di daerah Angkola yang dipakai dalam pelaksanaan upacara adat na godang (tingkatan upacara adat yang paling besar). Kata gondang mempunyai tiga macam pengetian. Pertama, gondang berarti alat musik yaitu gendang yang terdiri dari gondang inang atau gondang siayakkon dan gondang pangayakon. Kedua, gondang bisa berarti lagu, misalnya lagu untuk suhut sihabolonan maka disebut dengan gondang suhut sihabolonan, lagu untuk mora disebut dengan gondang mora. Ketiga, gondang dapat juga berarti ensambel musik, yakni alat-alat musik yang tergabung dalam satu unit. Sehingga jika orang mengatakan main gondang, yang dimaksud bukan hanya memainkan instrument gendang, tetapi memain kan satu ansambel musik yang terdiri dari 2 buah gondang (gondang inang dan gondang pangayakon), 2 buah ogung, 1 buah suling, 1 buah doal, sepasang tali sasayat (simbal), 7 buah salempong, dan onang-onang (nyanyian), juga tortor. Gondang menurut tradisi hanya dapat ditampilkan dalam konteks upacara adat nagodang dalam suasana siriyaon (suka cita) saja, oleh karena itu pula disebut dengan gondang maradat.
Dalam bahasa Mandailing-Angkola nyanyian disebut juga dengan ende, sedangkan bemyanyi disebut dengan marende. Ende dalam musik Angkola terbagi lagi atas beberapa jenis menurut fungsi -dan penggunaannya, antara lain adalah: 
(1) Onang-onang, secara harafiah onang-onang tidak dapat diartikan, tetapi menurut beberapa sumber kata onang berasal dari kata inang yang artinya "ibu." Onang-onang adalah nyanyian yang fungsinya sebagai ungkapan kekecewaan dan pelepas rindu kepada orang yang dikasihinya. 
(2) Turke-turke adalah nyanyin rakyat (lullaby song) masyarakat Angkola yang dinyanyikan oleh orang tua (ayah atau ibu) untuk si buah hati (anak) 6 sampai 10 bulan. Turke-turke dinyanyikan sebagai ungkapan perasaan suka cita orang tua terhadap kesehatan dan pertumbuhan sang anak yang semakin bijak.
 (3) Ungut-ungut, nyanyian rakyat yang mengisahkan suasana kampung Sipirok atau Bunga Bondar. Dinyanyikan oleh seorang pria sebagai ungkapan keluh kesahnya karena akan pergi merantau jauh dari kampung halaman untuk mencari pekerjaan yang lebih layak demi masa depan. 
(4) Ile Onang Baya, nyanyian pelepas rindu dimana bila kita mendengarnya akan terobati rasa rindu kepada orang yang kita cintai dan sayangi. Nyanyian ini dinyanyikan oleh pemuda-pemudi untuk mengungkapkan perasaan hatinya. Biasanya nyanyian ini dinyanyikan oleh seseorang di tempat yang jauh dari keramaian umum. Masih banyak lagi musik vokal Angkola-Mandailing lainnya.

Gambar Tarian




Nias


masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut Sanomba Adu. Sanomba berarti menyembah, dan Adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu sebagai media tempat roh bersemayam. Adu untuk dewa-dewa ditempatkan di osali boronadu, yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi Sanomba Adu. Mereka mempercayai dewa-dewa, di antaranya: Luo Walangi sebagai dewa pencipta alam semesta; Lature Sobawi Sihono dewa pemilik dan penguasa babi; Uwu Gere dewa pelindung dan penguasa para ere (pemimpin religi Sanomba Adu); Uwu Wakhe dewa penguasa tanam-tanaman; Gozo Tuha Zangarofa dewa penguasa air, dan lainnya.
Kemudian datanglah agama Kristen ke Nias. Misionaris yang pertama kali datang ke Nias adalah Denninger tahun 1865, tepatnya di Kota Gunung Sitoli. Sebelumnya ia sudah bergaul dan belajar bahasa Nias dari orang-orang Nias yang bermukim di Padang. Pada masa itu, orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 jiwa di Padang ini, merupakan pendatang. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, dan kebudayaan Nias, hingga ia tertarik untuk datang ke Nias mengajarkan agama Kristen, yang kemudian ternyata berhasil dengan baik. Misi Kristen kemudian diteruskan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1915-1930, masa ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa dodo sebua). Pada masa ini pula terjadi perubahan-perubahan sikap. Patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan. Poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui fo’ere (dukun), dan sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragama Kristen.
Masyarakat Nias mengenal derajat sosial berdasarkan kepimpinan dan tingkat-tingkat kehidupan, yang disebut bosi. Sistem pembagian tingkatan hidup manusia ini dijiwai oleh religi Nias pra-Kristen yang disebut Sanomba Adu. Sistem pemerintahan tradisi pada masyarakat Nias Utara, didasarkan atas pembahagian jabatan sebagai berikut: 
(1) tuhenori, tuhe berarti tunggul dan nori atau ori artinya kumpulan dari beberapa banua (desa), tuhenori dipilih antara pimpinan banua (salawa)
(2) salawa artinya yang tinggi. Salawa ini memimpin satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai pengertian: fa’atulo (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abolo (kuat jasmani dan rohani), fokho (kaya atau memiliki banyak harta dan benda) dan salawa sofu (berwibawa); 
(3) satua mbanua, yaitu penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan: tambalina (wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaofa (orang keempat).
Semua jabatan pemerintahan tersebut diduduki oleh golongan bangsawan yang merupakan keturunan pendiri desa. Golongan orang yang termasuk susunan pemerintahan desa ini selalu mendapat perlakukan yang istimewa. Orang lain tidak dapat berbicara dengan tidak sopan, selalu dihormati, selalu dijemput dan hadir dalam pesta adat, seperti perkawinan, kematian, dan lainnya. Mereka memutuskan hal-hal penting dalam pemerintahan desanya (W. Gulö 1983). Sistem penggolongan derajat manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat. Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan masuk ke dalam sorga. Kedua belas bosi itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (wawancara dengan Dasa Manao 1990).
Salah satu jenis kesenian masyarakat Nias adalah seni musik. Adapun di antara alat-alat musik Nias adalah sebagai berikut. 
(a) Gondra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo gondra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. 
(b) Gong adalah alat musik jenis gong berpencu, terdiri dari dua gong yaitu garamba dan faritia. Garamba lebih besar dari faritia. Fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang terjadi di Medan perang, misalnya ada yang meninggal. 
(c) Tamburu, adalah gendang di Nias, ukurannya lebih kecil dari gonda dan bagian luarnya tidak diikat oleh rotan tetapi luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi pengantin, lagu, dan tarian. 
(d) Doli-doli adalah xilofon kayu laore berupa bilahan-bilahan yang diletakkan di atas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul dari kayu. Alat musik ini kadang disebut juga dengan gambang. 
(e) Suling sebagai alat musik tiup, terbuat dari bambu lewuo mbanua
(f) Ndruri adalah termasuk alat musik jew’s harp, memiliki satu lidah yang disebut lela.


Kemudian tari-tarian di Nias di antaranya adalah: 
(a) Tari Maena, yaitu tari yang biasa dipertunjukkan dalam acara pesta pernikahan, dan juga dilakukan untuk menyambut para tamu kehormatan. Tari maena biasanya dilakukan di lapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit untuk diikuti. Variasi gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segitiga (tolu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi empat (ofa sagi) dengan kedua lengan diayunkan ke depan dan ke belakang.
(b) Tari Moyo adalah tarianyang menirukan gerakan burung elang yang sedang terbang. Ditarikan biasanya oleh wanita. Tari ini difungsikan untuk acar terpenting, misalnya penobatan seseorang menjadi bangsawan. 
(c) Tari Faluaya dan Maluaya. Maluaya merupakan tari persatuan sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya menggambarkan sekelompok tentara yang sedang berperang. Properti tarinya adalah pedang (balatu), tombak (toho), dan tameng (baluse). 
(d) Tari Hombo Batu atau Lompat Batu merupakan tari yang berunsur olah raga latihan perang melompati batu sebagai simbol budaya megalitikum. Demikian sekilas musik dan tari di Nias, Sumatera Utara.

Gambar Tarian


Pakpak-Dairi


etnik ini bertempat tinggal di sebahagian besar kawasan Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, yang sebahagian besar terdiri dari daratan tinggi dan bukit-bukit yang ditumbuhi pohon-pohon yang m embentuk hutan tropis. Posisi koordinatnya terletak di antara 98  sampai 99 dera jat  20’ Bujur Timur dan 20 sampai 30 derajat  15’ Lintang Utara.
Sebelum masuknya ajaran Islam dan Kristen ke wilayah Pakpak-Dairi, pada kebudayaan masyarakatnya terdapat beberapa bentuk kepercayaan yang berdasar kepada adanya kekuatan ghaib pada tempat-tempat tertentu, benda-benda alam, dan alam semesta memiliki kekuatan ghaib dengan adanya dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang. Konsep kepercayaan akan adanya alam ghaib terbagi atas tiga bagian, yaitu: Batara Guru (Dewa Pencipta), Tunggul ni Kuta (Dewa Penjaga Kampung), dan Berraspati ni Tanoh (Dewa yang Menguasai Tanah). Ketiga wujud kekuatan alam ini disebut dengan Tri Tunggal Penguasa Alam. Mereka sebagai penganut kepercayaan kepada kekuatan ghaib juga mempercayai adanya Sinaga Ale (Dewa Penguasa Air), Jandi ni Mora (Dewa Penjaga Udara) dan Mbarla (makhluk ghaib yang menguasai ikan dalam air). Pada tahun 1908 perkembangan agama Islam memasuki Pakpak-Dairi yang dibawa oleh Tuan Pakih Brutu dari daerah Aceh. Pada mulanya penyebaran agama Islam selalu memberikan rangsangan di hadapan orang banyak dengan menunjukkan kekuatan ghaib, seperti menggerakkan batu, kayu, besi, yang diletakkan di atas tanah. Sebelum datangnya masa kolonialisme Belanda, kelompok etnik Pakpak-Dairi dibagi ke dalam lima golongan (puak), yaitu: 
(1) Pakpak Boang yang tinggal di Lipat Kajang dan Singkel, yang sekarang merupakan wilayah Nanggroe Aceh Darussalam bagian selatan; 
(2) Pakpak Kelasen yang meliputi daerah Parlilitan, Pakkat dan Manduamas, yang saat ini menjadi bagian wilayah Tapanuli Bahagian Utara dan Tapanuli Tengah; 
(3) Pakpak Kepas yang terdiri dari daerah Sidikalang, Parongil, dan Banturaja, serta 
(4) Pakpak Simsim berada di Sukarame, Kerajaan, dan Salak.
Masyarakat Pakpak-Dairi memberi nama ende-ende terhadap semua jenis musik vokalnya. Untuk membedakan antara jenis nyanyian, di belakang kata ende-ende dilanjutkan dengan nama nyanyiannya. Misainya, ende-ende anak melumang, yaitu nyanyian ratapan seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian mengambil kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian sambil kerja menjaga padi dan tanam-tanaman di ladang, dan lain-lainnya. Umumnya masyarakat Pakpak-Dairi membagi alat musiknya secara etnosains berdasarkan bentuk penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya alat-alat musik tersebut masih dibagi lagi atas dua kelompok: 
(1) gotci dan 
(2) oning-oning
Sedangkan bedasarkan cara memainkannya instrumen musik tersebut terdiri atas tiga kelompok, yaitu: 
(1) sipalu
(2) sisempulen, dan 
(3) sipiltiken. 
Gotci ialah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkatan (ensambel) terdiri dari: genderang sisibah, genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul, gung, dan kalondang. Instrumen yang termasuk ke dalam kelompok gotci adalah sebagai berikut, yang dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan (seperangkatan gong) yang terdiri dari empat buah gong, yaitu secara berurutan dari gong terbesar hingga terkecil: 
(1) panggora (penyeru), 
(2) poi (yang menyahuti), 
(3) tapudep (pemberi semangat), dan 
(4) pongpong (yang menetapkan). 
Instrumen lain yang dipakai ialah sarune (double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal). Pada saat sekarang, kedua instrumen ini hanya dipakai sewaktu-waktu saja, artinya, bisa dipakai dan boleh juga tidak dipakai. Dalam penyajiannya, ansambel gendang ini hanyalah dipakai pada jenis upacara sukacita saja (kerja mbaik) pada tingkatan upacara yang terbesar dan tertinggi secara adat (males bulung simbernaik) dan harus menyembelih kerbau sebagai kurban pada upacara dimaksud. Genderang sisibah ialah seperangkat gendang konis satu sisi yang jumlahnya sembilan. Dalam konteks pertunjukan tradisional adat ensambel ini disebut Si Raja Gumeruguh, sesuai suara yang dihasilkannya bergemuruh. Gendang satu disebut Si Raja Gumeruguh pola ritemnya menginang-inangi atau menginduk; gendang dua Si Raja Dumeredeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritmik menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, menghantarkan), gendang ketiga sampai ketujuh, disebut Si Raja Menak-menak menghasilkan pola ritmik benna kayu pembawa melodi (menenangkan), gendang kedelapan Si Raja Kumerincing menghasilkan pola ritme menetehi (menyeimbangkan), dan gendang kesembilan Si Raja Mengampuh menghasilkan pola ritmik menganak-anaki atau tabil sondat [menghalang-halangi].
Genderang si lima ialah seperangkatan gendang (membranofon) satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari lima buah gendang konis satu sisi. Kelima buah gendang ini adalah berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang 1, 3, 5, 7, 9. Nama lain dari ensembel ini ialah Si Raja Kumerincing [bergemerincing, meramaikan]. Adapun nama-nama gendang berdasarkan urutan dari gendang terbesar hingga terkecil ialah: Si Raja Gumeruguh dengan pola ritmik menginang-inangi (induk yang bergemuruh); Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau mendonggil-donggili (menghantarkan atau meneruskan); Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai [menenteramkan]; Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai [meramaikan]; dan Si Raja Mengampuh memainkan pola ritmis menganaki [menyahuti, mengikuti].

Ensambel Gendang Sidua-dua terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barel. Kedua gendang tersebut terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar, dan gendang anakna (gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Perangkat lain dari ensembel gendang sidua-dua ini ialah empat buah gong (Pakpak-Dairi: gung sada rabaan), dan sepasang cilatcilat (simbal). Dalam penyajiannya, ensambel gendang ini secara umum dipakai untuk upacara ritual, seperti mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diusahai menjadi lahan pertanian (mendegger uruk), dan hiburan saja, seperti upacara penobatan raja, atau untuk mengiringi tarian pencak (moncak).

Gambar Tarian





SIMALUNGUN



 berdasarkan letak geografinya, Kabupaten atau juga wilayah budaya Simalungun ini membentang antara 02 derjat 36’ sampai 3 derjat 18’ Lintang Utara dan 9 derjat 32’ sampai 9 derjat 35 ‘ Bujur Timur. Luas keseluruhan daerah Simalungun adalah 4,386.69 kilometer² atau 16.12% dari keseluruhan luas Provinsi Sumatera Utara. Menurut Jahutar Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat Simalungun bahwa istilah simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi malungun yang berarti suatu keadaan yang sunyi. Kemudian ditambah lagi awalan kata si yaitu sebuah sebutan untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun berarti suatu nama bagi kawasan tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal orang. Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun,masih relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat, dan karet. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang umumnya sebagai buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan Jawa.
Sebelumnya kira-kira tahun 500–1290 M di daerah Simalungun telah berdiri sebuah kerajaan, yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang bernama Damanik (Jahutar Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur Raya, karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba 1977:21). Setelah masa pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan oleh Kerajaan Silou (1290-1350). Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou, sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun 1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat. Kerajaan ini terdiri dari: 
(1) Kerajaan Dolok Silou dan 
(2) Kerajaan Panei masing-masing dengan rajanya bermarga Purba; 
(3) Kerajaan Siantar yang rajanya bermarga Damanik; dan 
(4) Kerajaan Tanah Jawa yang rajanya bermarga Sinaga. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun menjadi Daerah Tingkat II Simalungun dan Kotamadya Pematang Siantar, kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang lalu berubah menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar.
Pada awalnya, etnik Simalungun menganut suatu religi yang disebut dengan Sipajuh Begu-begu atau Parbegu. Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, orang-orang Simalungun dapat dikelompokkan ke dalam orang-orang yang religinya bersifat animisme. Orang-orang Simalungun yang beragama Kristen Protestan terintegrasi ke dalam persekutuan iman gereja yang disebut Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
 Sistem kekerabatan etnik Simalungun berdasarkan kepada sistem keturunan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil disebut satangga, yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Anggota kerabat satu ayah disebut sabapa, satu kakek disebut saompung. Dalam masyarakat Simalungun dikenal istilah tolu sahundulan lima saodoran (“kedudukan yang tiga barisan yang lima”), terdiri dari: tondong (pihak pemberi isteri), sanina (pihak satu marga), dan anak boru (pihak pengambil isteri). Ditambah dua kelompok lagi yaitu tondong ni tondong (tondong dari pihak pemberi isteri) dan boru ni boru (boru dari pengambil isteri). Pada setiap upacara adat dan pelaksanaan horja (pesta), semua unsur kekerabatan tersebut selalu berperan. Mereka akan tampil dengan mewujudkan sifat tolong-menolongnya. Pihak yang menyumbang uang atau beras adalah tondong, sedangkan yang menyumbangkan tenaga adalah pihak boru. Orang-orang Simalungun secara tradisi menyebut musik vokalnya (nyanyian) dengan doding. Aktivitas menyanyikan doding ini disebut dengan mandoding. Selain istilah doding, di dlam genre musik vokal Simalungun dikenal pula istilah ilah dan inggou, yang juga mempunyai makna nyanyian. Perbedaan antara ketiganya adalah hanya dikenal antara khusus untuk suatu nyanyian yang dilagukan secara bersama-sama maupun untuk menyatakan nama sebuah musik vokal. Penggolongan nyanyian yang dilakukan masyarakat, biasanya berdasarkan fungsinya di dalam masyarakat, dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Etnik Simalungun mempunyai dua jenis nyanyian yang diperuntukkan kepada anak-anak oleh orang tua atau kakaknya yang disebut dengan urdo-urdo atau tihtah. Urdo-urdo adalah suatu jenis nyanyian untuk menidurkan anak, sedangkan tihtah adalah nyanyian anak bermain. Jika seorang anak telah lahir, maka yang bertanggung jawab mengurus anak ini adalah ibunya, walaupun sebenarnya di rumah tinggal mereka ada nenek si bayi, kakak si bayi, atau juga ayah si bayi. Biasanya, menurut adat-istiadat Simalungun, pada masa bayi ini saudara perempuan dari ayah si bayi yang disebut amboru, datang untuk menjaga si bayi. Secara budaya amboru akan mengurus si bayi yang berjenis kelamin perempuan, Nyanyian ungut-ungut bisanya dilagukan sambil melakukan pekerjaan menenun atau menganyam tikar, yang disebutnya dengan nyanyian untuk mengisi keasyikan bekerja.
Menurut S.D. Purba (1994:149), yang disebut suatu nyanyian kerja tidak hanya sekedar mengisi keasyikan bekerja saja., tetapi suatu nyanyian yang dapat membangkitkan semangat bekerja. Dengan kata lain, nyanyian kerja adalah suatu nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat, sehingga dapat menimbulkan gairah untuk bekerja. Bahkan suatu pekerjaan tidak dapat dilakukan jika tidak diiringi nyanyian kerja ini. Orang Simalungun sedikitnya mengenal dua buah nyanyian kerja, yaitu orlei dan lailullah. Nyanyian orlei digunakan untuk membangkitkan semangat menarik kayu dari hutan yang disebut manogu losung yang dijadikan lesung (lumpang). Nyanyian lailullah digunakan untuk membangkitkan gairah bekerja menginjak padi agar terlepas dari tangkainya. Di dalam acara manogu losung, penduduk desa secara bergotong-royong sekitar 40 orang atau lebih secara bergantian menarik kayu yang relatif besar ukurannya. Seorang ibu tua yang berfungsi sebagai pemimpin bernyanyi secara solo, kemudian diikuti oleh penarik kayu yang memberi semangat dan satu kesatuan dalam menarik kayu. Nyanyian ini berisi pujaan kepada dewa kayu yang disebut Puang Boru Manik dan melalui bujuk rayu penyanyi dengan menyebut-nyebut Puang Boru Manik, secara perlahan-lahan kayu dapat tergeser, ditarik terus hingga sampai di desa. Selanjutnya nyanyian Lailullah adalah nyanyian yang disajikan ketika pemudapemudi desa sedang mengirik padi yang disebut dengan kegiatan mardogei. Mereka bersama-sama melagukannya untuk membangkitkan semangat bekerja. Dengan menyanyikan lagu ini, tanpa terasa pekerjaan mardogei dapat diselesaikan.
Di dalam kebudayaan Simalungun dikenal istilah untuk menyebut ensambel musik instrumentalnya, yaitu gonrang. Di dalam menyajikan gonrang ini pada umumnya mempergunakan dua jenis ensambel, yaitu gonrang bolon atau gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua. Gonrang bolon terdiri dari tujuh buah gendang yang berbentuk konis, yang ditempatkan pada sebuah rak dengan susunan vertikal sekitar 80º, dengan ukuran dari yang besar hingga yang kecil sekitar 120 sentimeter sampai 60 sentimeter. Ketujuh gonrang ini biasanya dimainkan oleh dua orang pemain, satu orang memainkan enam gonrang dan gonrang yang paling besar diaminkan oleh satu orang pemainnya. Selain ketujuh gonrang tersebut ensambel ini ditambah oleh alat-alat musik seperti sarune bolon (aerofon lidah ganda), tiga buah gong (suspended gong), dan si tala sayak (simbal). Menurut legenda yang dipercayai oleh masyarakatnya, ketujuh gonrang ini adalah penjelmaan tujuh orang putri dari langit (kayangan) yang diutus ke dunia untuk mengawasi kesenian dan upacara-upacara yang diinginkan oleh para dewa. Fungsinya biasanya untuk upacara-upacara ritual, perkawinan, gereja, dan lain-lain. Gonrang ini pada saat permainannya biasanya yang paling kecil tidak dimainkan, ditutupi oleh kain putih, sebagai simbol untuk dimainkan oleh dewa yang turun pada upacara ini.

Kemudian ensambel gonrang dua terdiri dari dua buah gonrang yang berbentuk konis semi barel. Umumnya dimainkan masing-masing oleh seorang pemain, dengan menggunakan telapak tangan untuk sisi kiri dan stik untuk sisi kanan. Biasanya dimainkan dalam posisi duduk. Alat-alat musik lainnya biasanya sama dengan yang dipergunakan dalam ensambel gonrang bolon. Perbedaannya secaar ensambel, biasanya gonrang bolon dianggap mempunyai gengsi yang lebih besar untuk disajikan dalam suatu upacara. Sarune membawa melodi atau juga digantikan fungsi musikalnya oleh alat musik tulila (sejenis rekorder). Gonrang ini juga dilaras, sekali gus membawa ritmis dan melodis. Kemudian dua gong digantung pada sebuah gantungan dari papan dan kayu, yang fungsinya membawa siklus kolotomik dan fungtuasi musik. Disertai satu buah gong yang dipegang dengan talinya dan dipukul menyela antara dua gong yang digantung ini.

Gambar Tarian




PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui mengenai keunikan SENI BUDAYA SUMATRA UTARA yang telah dikaji, diantaranya ialah pengertian, asal-usul, tata gerak dan seni budaya dari daerah masing-masing. Serta diuraikan mengenai upaya-upaya melestarikan budaya tradisional tersebut. Begitu pentingnya kesenian dan budaya bagi generasi muda dan tidak hanya di sumatra utara saja generasi muda melestarikannya melainkan juga kewajiban seluruh masyarakat Indonesia karena seni dan budaya merupakan salah satu kekayaan di Indonesia. Sehingga, alangkah baiknya apabila kita menjaga kekayaan bangsa Indonesia, dan menjunjunganya hingga ke kancah internasional sebagai wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap kesenian tradisioanal kita.