PENDAHULUAN
Kita
mengetahui bahwa perkembangan seni budaya di sumatra utara ini kurang baik , maka dari itu kita harus bisa
melestarikan seni budaya tradisional sumatra utara.
Secara historis, seni sangat terkait dengan budaya kita .
Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak lama, nenek
moyang suku-suku di sumatra telah mulai membuat kesenian brupa tarian, rumah
adat, alat-alat musik dan tari-tarian, yang menggambarkan bagian-bagian penting dari kehidupan.
Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangan bernilai karna
selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga menjadi lambang dari
kepribadian suatu bangsa.
Karena budaya merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah,
menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap
individu, dengan katalain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus di jaga di
lestarikan srtiap suku bangsa.
Disini kami akan membagi sedikit informasi tentang beragam jenis suku, seni, dan makanan khas yang ada di sumatra utara.
Suku Melayu
masyarakat Melayu ini menjadi
bahagian integral dari Dunia Melayu Dunia Islam, dan Indonesia. Orang Melayu
biasanya mendefinisikan kelompoknya sebagai orang yang beragama Islam,
berbahasa Melayu, memakai adat Melayu dan berbagai persyaratan tempatan.
Orang-orang Melayu di Sumatera Utara (dahulu Sumatera Timur) memiliki wilayah
budaya dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu.
Mereka juga mempunyai kategorisasi integrasi masyarakatnya yang terdiri dari: Melayu asli, Melayu semenda, dan Melayu seresam. Melayu asli adalah golongan yang secara keturunan merupakan
orang-orang dari puak Melayu apakah Sumatera atau Semenanjung Malaysia dan
Kalimantan. Melayu semenda adalah
orang yang bukan etnik Melayu tetapi masuk menjadi Melayu karena faktor
perkawinan. Sedangkan Melayu seresam
adalah orang yang masuk menjadi Melayu diakui sebagai Melayu karena mengamalkan
resam Melayu.
Dalam
kebudayaan Melayu di Sumatera Utara terdapat genre lagu yang berkaitan dengan
anak. Di antaranya adalah Lagu Membuai Anak, yaitu nanyian yang
dipergunakan untuk menidurkan anak. Selain itu dikenal pula lagu Dodoi Sidodoi
atau Dodoi Didodoi, yaitu lagu yang juga untuk menidurkan anak. Di kawasan
Asahan terdapat lagu Si La Lau Le yaitu lagu yang digunakan untuk membuaikan
anak. Kemudian ada juga lagu Timang yaitu lagu yang digunakan untuk
membuaikan anak. Seterusnya ada satu lagu lagu yang bertajuk Tamtambuku yang
digunakan untuk permainan anak. Musik yang berkaitan dengan mengerjakan ladang.
Musik ini contohnya adalah: Lagu Dedeng Mulaka Ngerbah, yaitu nyanyian
yang disajikan pada saat awal kali menebang hutan untuk dijadikan lahan
pertanian. Kemudian ada pula lagu yang bertajuk Dedeng Mulaka Nukal,
yaitu nyanyian yang disajikan pada saat menukal (melubangi dan mengisi lubang
tanah dengan padi), sebagai proses penanamn. Kedua jenis lagu tersebut secara
umum dikenal pula dengan istilah Dedeng Padang Rebah. Lagu-lagu ini
terdapat di bahagian utara Pesisir Timur Sumatera Utara, seperti di Langkat dan
Deli. Nyanyian hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks
bekerja juga terdapat dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya
dilakukan dalam rangka bercocok tanam, bekerja menyiangi gulma, menuai benih,
mengirik padi, menumbuk padi, sampai menumbuk emping. Begitu juga dengan
nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan Sinandung Nelayan atau
Sinandung Si Air yang dijumpai di kawasan Asahan dan Labuhanbatu.
Musik yang berhubungan dengan memanen padi. Ragam ini terdiri dari Lagu
Mengirik Padi atau Ahoi, yaitu lagu dan tarian memanen
padi—melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara
menginjak-injaknya. Posisi para penari biasanya membentuk lingkaran.
Kemudian ada pula Lagu
Menumbuk Padi yaitu lagu yang disajikan pada saat menumbuk padi, melepaskan
kulit padi menjadi beras. Seterusnya adalah Lagu Menumbuk Emping yaitu
lagu yang dinanyikan pada saat memipihkan beras menjadi emping. Musik yang
memperlihatkan ekspresi masa animisme. Adapun contoh lagunya adalah Dendang
Ambil Madu Lebah yaitu lagu yang dipergunakan untuk mengambil madu lebah
yang dilakukan seorang pawang madu lebah. Contoh lainnya adalah Lagu
Memanggil Angin atau Sinandong Nelayan kadang disebut pula Senandung
atau Nandung saja, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh nelayan untuk
memanggil angin agar menghembus layar perahu (sampannya). Lagu ini yang
terkenal adalah Senandung Asahan, senandung Bilah, Senandung Panai, dan Senandung
Kualuh. Contoh genre ini adalah Lagu Lukah Menari, yaitu lagu untuk
mengiringi nelayan menjala ikan. Berikutnya adalah Lagu Puaka, yaitu lagu
yang dinyanyikan pada upacara yang bersifat animistik, memuja roh-roh ghaib.
Bagaimanapun lagu ini dilarang oleh alim-ulama Islam, sehingga lagu ini saat
sekarang tinggal tersisa bagi mereka-mereka yang mengamalkannya saja. Nyanyian
naratif, yaitu nyanyian yang sifatnya bercerita. Contohnya adalah Lagu
Hikayat, yaitu nyanyian tentang cerita rakyat, sejarah, dan mite. Contoh lainnya
adalah Syair dengan berbagai judul, yang terkenal adalah Syair Puteri
Hijau tulisan A. Rahman tahun 1959. Musik hiburan, yang terdiri dari Lagu
Dedeng yaitu lagu solo tanpa iringan alat musik untuk hiburan pada pesta
perkawinan atau panen.
Lagu
lainnya adalah Musik Tari Pencak Silat yaitu musik yang dipergunakan
untuk mengiringi tari pencak silat, yang gerakannya diambil dari pencak silat,
gerakan-gerakan mempertahankan diri dari serangan musuh. Kemudian lagu
pendukung genre ini adalah Musik Tari Piring atau Musik Tari Lilin
atau Musik Tari Inai, yaitu musik yang dipakai untuk mengiringi Tari
Piring, Tari Lilin, atau Tari Inai. Genre musik lainnya adalah
yang kuat mengekspresikan ajaran-ajaran Islam, yang dapat dirinci lagi sebagai
berikut. Yang khusus merupakan kegiatan keagamaan Islam dan dipandang lebih
dari sekedar musik adalah azan, yaitu merupakan seruan untuk sembahyang.
Kemudian takbir, yaitu nyanyian pujian kepada Allah pada Hari Raya Idul
Fitri atau Idul Adha. Ada juga lagu dan musik rakyat Islam, di antaranya adalah
qasidah, yaitu nyanyian solo tanpa iringan musik, menggunakan teks-teks
agama seperti dari Kitab Al-Barzanji. Ada pula marhaban, yaitu
nyanyian paduan suara yang menggunakan teks-teks keagamaan seperti dari Kitab
Al-Barzanji. Kemudian ada pula lagu Kur Semangat yaitu nyanyian yang
bersifat religius tanpa diiringi oleh alat musik. Selanjutnya ada barodah yaitu
nyanyian yang menggunakan teks keagaman dan umumnya diiringi oleh alat musik.
Selain itu ada hadrah, yaitu nyanyian sekelompok pria yang disajikan
dengan teknik responsorial atau antifonal, mempergunakan teks-teks religius
dengan iringan alat musik rebana berbentuk frame disertai dengan tarian.
Selanjutnya ada genre gambus atau zapin adalah nyanyian dan
tarian tentang moral atau religius yang disajikan secara solo, diiringi oleh
suatu ensambel gendang marwas dan alat musik gambus disertai oleh tarian
yang mengutamakan gerakan kaki. Genre lainnya kelompok ini adalah dabus, yaitu
nyanyian tarian trance (seluk)
untuk memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam seperti dari besi
karena ridha Allah. Diiringi oleh gendang berbentuk frame dan penyanyi
solo atau berkelompok.
Di
dalam budaya Melayu Sumatera Utara, tarian Melayu berdasarkan akar budaya dan
fungsinya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
(1) Tarian Melayu yang
mengekspresikan kegiatan yang berhubungan dengan pertanian, contohnya tari Ahoi
(mengirik padi), Mulaka Ngerbah (menebang hutan), Mulaka Nukal
(menanam benih padi ke lahan pertanian) dan lainnya.
(2) Tarian Melayu yang
mengekspresikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan nelayan, contohnya
tari Lukah Menari (menggunakan jala untuk menangkap ikan), Tari Jala
(membuat jala), Gubang (tarian yang mengekspresikan nelayan yang memohon
kepada Tuhan agar angin diturunkan supaya mereka dapat belayar kembali, pada
saat mengalami kematian angin di lautan), Mak Dayu (tarian yang mengekspresikan
hubungan nelayan dengan kehidupan ikan-ikan di laut), tari Belian (tari
pengobatan dalam budaya masyarakat nelayan) dan lainnya,
(3) Tarian yang meniru
atau mimesis kegiatan alam sekitar, misalnya Ula-ula Lembing (meniru
gerakan-gerakan ular), Tari Pelanduk (meniru gerak pelanduk).
(4) Tarian
yang berkaitan dengan kegiatan agama Islam, contohnya hadrah (puji-pujian
terhadap Allah dan Nabi-nabi), zapin (tarian yang diserap dari Arab dengan
pengutamaan pada gerakan kaki); rodat, adalah tarian yang mengungkapkan
ajaran agama Islam. Rodat dipercayai dibawa oleh para pedagang dari
Sambas dan Pontianak ke istana Terengganu dan Sumatera Utara dan selalu
dipertunjukkan pada waktu perayaan istana kerajaan.
(5) Tarian yang berkaitan
dengan kekebalan contohnya Dabus.
(6) Tarian yang fungsi utamanya hiburan,
dan menyadur berbagai unsur budaya seperti Barat, Timur Tengah, India, China,
dan lain-lain. Misalnya ronggeng dan joget, yang repertoarnya
terdiri dari senandung, mak inang, dan lagu dua, ditambah berbagai
unsur tari etnik Nusantara dan Barat, termasuk juga tari yang dikembangkan dari
genre ronggeng/joget seperti Mak Inang Pulau Kampai, Melenggok,
Lenggang Patah Sembilan, Lenggok Mak Inang, Persembahan, Campak Bunga,
Anak Kala, Cek Minah Sayang, Makan Sireh, Dondang Sayang, Gunung
Banang, Sapu Tangan, Asli Selendang, Tari Lilin, Tudung Periuk, dan yang
paling populer adalah Tari Serampang Dua Belas.
(7) Tari yang berkaitan dengan
olah raga, misalnya pencak silat atau tari silat dan lintau.
(8)
Tarian yang berkaitan dengan upacara perkawinan atau khitanan, yaitu tari inai
(disebut juga tari piring atau lilin). Tari ini juga
dipersembahkan di istana raja-raja Melayu di Sumatera Utara (Timur) pada saat
golongan bangsawan khatam Al- Quran.
(10) Tari-tarian dalam teater Melayu,
seperti dalam makyong, bangsawan, mendu dan sebagainya. (11) Tarian garapan
baru, yaitu tari-tari yang diciptakan oleh para pencipta tari Melayu pada masa-masa
lebih akhir dalam sejarah tari Melayu yang berdasarkan kepada perbendaharaan
tari tradisional, misalnya tari: Ulah Rentak Angguk Terbina, Zapin Mak
Inang, Zapin Menjelang Maghrib, Zapin Deli, Zapin Serdang, Daun Semalu,
Rentak Semenda, Ceracap, Lenggang Mak Inang, Senandung Mak Iinang,
Tampi, Mak Inang Selendang, Zapin Kasih dan Budi, Demam Puyoh, dan
lain-lain.
Gambar Tarian
Suku Karo
etnik Karo
mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut merga silima. Sistem ini
adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam lima merga (klen) besar:
(1) Ginting,
(2) Sembiring,
(3) Karo-karo,
(4) Parangin-angin, dan
(5)Tarigan.
Setiap merga ini terbagi lagi ke dalam merga-merga kecil.
Istilah merga berasal dari kata meherga, yang artinya adalah
mahal atau berharga. Istilah ini melekat pada lelaki yang berstatus sebagai
penerus keturunan dan mewarisi nama merga. Bagi perempuan istilah
yang dipergunakan adalah beru, yang berasal dari kata mberu yang
artinya adalah cantik. Selain itu, masyarakat Karo mengenal istilah rakut
sitelu, yaitu pengelompokkan tiga struktur sosial:
(1) kalimbubu (fihak
pemberi isteri);
(2) anak beru (fihak penerima isteri, dan
(3)senina yaitu
orang satu merga.
Pada
masa sekarang, masyarakat Karo beragama Kristen Protestan, Katolik, Islam,
Hindu dan sebahagiannya Pemena, yaitu religi pra-Kristen dan Islam. Nilai-nilai
religi Pemena ini sebahagian ditransformasikan hingga kini. Para penganut
religi Pemena mempercayai adanya pencipta alam semesta yang disebut Dibata
Kaci-kaci. Mereka juga mempercayai adanya tiga alam:
(1) Banua Datas
alam bagian atas yang dikuasai oleh Dibata Datas yang bernama Guru
Batara Datas;
(2) Banua Tengah yang dikuasai oleh Dibata
Tengah yang bernama Tuan Paduka ni Aji, dan
(3) Banua Tero yang
dikuasai Dibata Teroh yang bernama Tuan Banua Koling.
Di
dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk para pemusik adalah sierjabaten,
yang secara denotatif artinya adalah yang memiliki tugas. Sierjabaten terdiri
dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak,
dan gung. Setiap pemain alat musik dalam etnosains tradisional Karo mereka
memiliki nama masing-masing, yaitu: pemain sarune disebut panarune,
pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggual,
dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut
simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu
mangkuk michiho.
Istilah
landek dalam bahasa Karo adalah memiliki denotasi yang hampir sama
dengan tari dalam bahasa Indonesia. Menurut masyarakat Karo,masing-masing
gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangantertentu.
Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifatmanusia maupun
hubungan seseorang dengan orang lain di dalarn kehidupansosialnya. Secara garis
besar tari Karo dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu:
(1) tarireligius,
(2) tari
adat, dan
(3) tari muda-mudi.
Di antara tari religius adalah: tari guru,
mulih-mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut.Tari-tarian
tersebut biasanya dibawakan oleh golongan dukun atau guru. Tarianadat
biasanya dilakukan pada upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah
golongan keluarga dekat, antara lain anak beru, kalimbubu, dan senina.
Jadi tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan penuh penghormatan.
Pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tak begitu mengikat. Hanya
usaha untuk menunjukkan kelincahan dan keindahan menari. Tari ini lebih
menekankan fungsi hiburannya, oleh karena itu sering dilakukan
bersama-sama denganperkolong-kolong dengan membentuk pasangan menari.
Gambar tarian
Batak
Toba,
sebagai
satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture
area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Menurut
Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa kesatuan tempat yaitu:
(1) kampung,
lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah-tengahnya,
(2) huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja,
(3) onan,
daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi,
(4) homban (mata air),
(5) huta
parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141).
Pada masa
kini, wilayah kebudayaan etnik Batak Toba adalah daerah yang sebagian besar
termasuk Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang
Hasundutan, dan Kabupaten Samosir, yang mengitari Danau Toba. Letaknya di
sebelah tenggara Kota Medan. Luas daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605
km². Umumnya tanah kawasan ini terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas
permukaan laut. Posisinya adalah berada pada 2º-3º Lintang Utara dan 98º-99,5º
Bujur Timur (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 1982:35). Religi selain agama Kristen
dan Islam, dan masih ada pengikutnya sampai kini, yang dianut oleh sebilangan
masyarakat Batak Toba adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudamdam.
Religi-religi ini sering pula disebut agama Si Raja Batak, karena religi ini
diyakini oleh sebahagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si
Singamangaraja XII. Menurut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut
adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singamangaraja XII, sebagai gerakan
keagamaan dan politik, yaitu Parmalim; dan sebagai gerakan religi berani amti,
yaitu Parhudamdam (Batara Sangti 1977:79). Selepas perang Lumban Gorat balige
pada tahun 1883, seorang keperayaan Raja Si Singamangaraja XII yang bernama
Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di wilayah Habinsaran,
terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama
baru yang disebut Parmalim (Batara Sangti 1977:79).
Menurut
Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
ajaran Kristen dan Islam, dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua.
Unsur-unsur kedua agama tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan para
penganutnya seperti di Barus Hulu, Humbang Barat, Tanggabatu (Tampahan), Sigaol
(Uluan), Simalungun, Serdang Hulu, dan Dairi. Di Tanah Karo dinamakan Silimin
(Sangti 1977:60). Namun setelah tersebarnya agama Kristen dengan pesat sejak
tahun 1862 di Tanah Batak, penganut agama tersebut di atas semakin berkurang.
Pada masa kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama Protestan,
Katolik, dan Islam. Tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima
oleh masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah
pimpinannya, misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade awal
abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen
Protestan. Berdasarkan rapat pendeta pada 3 Februari 1903, penginjilan
diperluas ke daerah Simalungun dan Karo, dan ternyata berhasil dengan baik .
Bila
diperhatikan lebih jauh, khusus tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak
Toba merupakan hal yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite1
dan sejarah
penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada umumnya setiap individu dalam masyarakat
Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang kalau
diurutkan juga sebagai keturunan dari Debata Mula Jadi na Bolon, yaitu
dewa yang mempunyai kekuasaan paling tinggi dalam sisetm religi Batak Toba. Melalui
marga orang-orang Batak Toba bisa mengadakan partuturan (mencari
hubungan kekerabatan) yang merupakan salah satu aspek mendasar dalam dalihan
na tolu, yang selalu diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah
ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak
Toba. Dalihan na tolu berarti tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang
digunakan untuk memasak. Konsep tersebut diterapkan pada sistem kekerabatan
pada masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur, yaitu:
(1) dongan
sabutuha (teman semarga);
(2) hula-hula (keluarga dari pihak istri);
(3) boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki).
Pedoman bersikap
antara ketiga kelompok kekerabatan itu tergambara dalam konsep:
(1) molo
naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya jika kamu ingin
menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan dongan
sabutuha(teman semarga);
(2) molo naeng ho gabe, somba ma ho
marhula-hula, artinya jika ingin keturunan banyak hormatilah hula-hula dan
(3) molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin
kaya, baik-baiklah kepada boru.
Kebudayaan musik dalam masyarakat Batak
Toba disebut dengan gondang. Berbicara mengenai seni musik (gondang)
yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, dapat digolongkan ke dalam dua
bagian, yaitu musik vokal (ende) dan musik instrumentalia (gondang).
Musik vokal Batak Toba mempunyai latar belakang yang erat hubungannya dengan
pandangan hidup, pergaulan, maupun kegiatan atau kehidupan sehari-hari
masyarakat ini.
Musik
vokal etnik Batak Toba secara umum diidentifikasikan sebagai ende, yang
secara taksonomis dibagi berdasarkan fungsi dan tujuan lagu yang dilihat melalui
isi liriknya. Adapun jenis-jenis ende itu adalah sebagai berikut.
(1) Ende
mandideng, adalah nyanyian yang berfungsi untuk menidurkan anak.
(2) Ende
Sipaingot yaitu musik vokal yang teksnya mengandung isi pesan kepada
putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Ende ini dinyanyikan pada
waktu menjelang dilangsungkannya pernikahan tersebut.
(3) Ende tumba,
yaitu musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba).
Dinyanyikan sekaligus ditarikan sambil melompat-lompat dan berpegangan tangan
membentuk lingkaran. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para remaja
di halaman rumah pada malam terang bulan.
(4) Ende sibaran, adalah musik
vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan, yang menimpa seseorang
ataupun sebuah keluarga. Ende ini biasanya dinyanyikan oleh orangorang tersebut
di tempat yang sunyi.
(5) Ende pasu-pasuan, yaitu musik vokal yang
berkenaan dengan pemberkatan, berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi
dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua pada keturunannya.
(6) Ende hata, adalah sebuah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi
ritme yang disajikan secara resitasi. Liriknya berupa rangkaian pantun, dengan
rima a-a-b-b yang memiliki jumlah suku kata yang relatif sama. Biasanya ende
ini dinyanyikan oleh kumpulan anak-anak yang dipimpin oleh seorang yang lebih
dewasa atau orang tua.
(7) Ende andung, adalah musik vokal yang
bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal pada saat
dimakamkan.
Dalam ende andung ini melodi lagunya datang secara spontan
sehingga penyanyia biasanya adalah keluarga yang meninggal haruslah sebagai
penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai bebrapa
melodi lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Klasifikasi lainnya musik
vokal berdasarkan fungsinya adalah sebagai berikut:
(a) ende namarhadodoan,
yaitu musik vokal yang dinyanyikan untuk acara-acara marhadodoan (resmi),
(b) ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh orang
Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari,
(c) ende sibaran yaitu musik
vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbaai peristiwa kesedihan atau
dukacita.
Dalam
kebudayaan musik tradisi Batak Toba, terdapat dua jenis musik yang disebut gondang
sabangunan dan gondang hasapi. Kedua jenis musik tersebut dipergunakan
dalam setiap aktivitas kehidupan sosial masyarakat dalam konteks yang bersifat
religi, adat, maupun hiburan. Banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli
kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak Toba itu sendiri, terhadap Gondang
Sabangunan, seperti: ogung, ogung sabangunan, gondang, porhas na
ualu (perkakas yang delapan), dan lain sebagainya. Gondang sabangunan terdiri dari beberapa jenis instrumen
tradisional Batak Toba, yaitu: lima buah taganing, satu buah gordang,
satu buah sarune bolon, empat buah gong (oloan, ihutan,
panggora, dan doal), dan hesek. Gondang sabangunan biasanya
digunakan pada upacara yang berkaitan dengan adat dan religi. Kegiatan dalam
menggunakan gondang sabangunan pada upacara adat disebut margondang.
Kegiatan ini dilakukan hampir meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Batak
Toba. Kegiatan margondang menurut tradisi asli masyarakat Batak Toba, yaitu:
(1) margondang pesta, adalah seluruh upacara yang menggambarkan suasana
kegembiraan hati, karena memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan
dan telah lama dinantikan. Beberapa upacara yang termasuk ke dalam aktivitas
ini, antara lain: Anak Tubu, Gondang Tunggal, Mangompoi Jabu, Manampe
Goar, Mamestahom Huta, Partangiangan, dan Harajaon.
(2) Margondang
Sibaran, adalah upacara yang mengekspresikan suasana kesedihan, misalnya
uapacara Margondang Angka Na Dangol, Papurpur Sapata, dan Mangondasi.
(3) Margondang memele, adalah upacara yang mempunyai hubungan dengan
kepercayaan asli, misalnya upacara Mamele Pangulubalang, Mamiahi
Hoda, Horbo Santi, Horja Turun, Mamele Sombaon, Mangongkal Holi dan
sebagainya.
Selanjutnya adalah ensambel gondang hasapi. Menurut
informasi yang diberikan Marsius Sitohang, gondang hasapi lazim disebut
dengan uninguningan. Alat-alat musik gondang hasapi terdiri dari:
dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal), satu
buah garantung (xilofon), satu buah sarune etek (shawm), sulim
(side blown flute), tulila (side blown flute), sordam
(end blown flute), tanggetang, gardap, dan hesek. Gondang hasapi juga
digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat, dan hiburan.
Pada penyajian Opera Batak, gondang hasapi juga dipergunakan,
pada setiap pertunjukannya, termasuk untuk mengiringi tarombo dalam
nyanyian.
Gambar Tarian
Mandailing-Angkola
wilayah budaya
etnik Mandailing-Angkola pada masa kini berada di sebagaian besar Kabupaten
Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padanglawas Utara, dan
Kabupaten Padanglawas Selatan. Mandailing secara tradisional terdiri dari dua
wilayah, yaitu Mandailing Godang
(Mandailing Besar) yang terletak di bagian Utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu) yang terletak di bagian sebelah
selatannya. Angkola terletak di bagian utara Kabupaten Tapanuli Selatan ini. Mandailing Godang meliputi wilayah
Kecamatan Siabu dan Kecamatan Panyabungan, yang merupakan dataran rendah yang
penuh dengan lahan persawahan, sedangkan Mandailing
Julu meliputi wilayah Kecamatan Kotanopan, Muara Sipongi, dan Batang Natal,
yang merupakan kawasan pegunungan dan hanya sedikit memiliki kawasan dataran
rendah.
Di
Kecamatan Panyabungan terdapat suku bangsa Siladang dan Lubu yang sudah sejak
lama mendiami daerah ini. Akan tetapi suku ini mempunyai adatistiadat dan
kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa Mandailing. Di Kecamatan
Muarasipongi terdapat suku bangsa Ulu yang mempunyai adatistiadat dan
kebudayaan yang berbeda juga dengan suku Mandailing. Suku bangsa Mandailing
digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua) yang mempunyai
persamaan ciri fisik dengan etnik: Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi-Dairi, dan
Karo. Kelompok Proto Melayu ini berasal dari Tiongkok Selatan dan pindah ke
wilayah Indonesia, yang diperkirakan berlangsung pada abad kedelapan atau kedau
belas sebelum Masehi. Dengan melihat ciri-ciri khas bentuk fisik dan
temperamennya, maka nenek moyang etnik Mandailing-Angkola termasuk rumpun Proto
Melayu (H.M.D. Harahap 1986:12).
Etnik
Mandailing-Angkola menganut garis keturunan patrialineal, mempunyai sistem
kemasyarakatan yang disebut dalian na tolu ("tiga tumpuan").
Sistem kekerabatan ini terdiri dari tiga unsur fungsional yang masing-masing
unsur tersebut mempunyai rasa ketergantungan antara satu
dengan
lainnya yang berupa ikatan darah (genealogis) dan ikatan perkawinan. Ketiga
kelompok tersebut adalah:
(1) mora,
(2) kahanggi, dan
(3) anak
boru.
Mora adalah kelompok kerabat yang memberi anak perempuan atau
pihak pemberi isteri. Kahanggi yaitu kelompok keluarga yang mempunyai
satu garis keturunan yang sama atau disebut juga keluarga semarga. Anak boru
yang merupakan pihak penerima anak perempuan atau kerabat suami (H.M.D. Harahap
1986:12).
Selain
itu ada sistem sosial berdasarkan garis keturunan yang disebut marga. Setiap
anggota masyarakat yang mempunyai marga, biasanya menempatkan nama marga di
belakang namanya. Orang-orang Mandailing dan Angkola yang semarga disebut markahanggi.
Di dalam masyarakat Mandailing dan Angkola, terdapat sejumlah marga, yang
di antaranya adalah: Lubis, Nasution, Rangkuti, Batubara, Daulae, Pulungan,
Parinduri, Matondang, Siregar, Hasibuan, dan lainnya. Di antara marga-marga ini
sampai sekarang marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang
paling banyak jumlah warganya di Mandailing. Sedangkan di wilayah Angkola
Siregar adalah marga
terbesarnya.
Sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing dan Angkola, penduduknya menganut
kepercayaan yang disebut Pelebegu, yaitu kepercayaan yang intinya memuja
roh nenek moyang. Untuk berhubungan dengan roh nenek moyang, dilakukan upacara
ritual yang dipimpin oleh seorang ahli keagamaan yang disebut sibaso.
Namun setelah masuknya agama Islam, sekitar tahun 1820, kepercayaan Pelebegu
ini tidak lagi dianut oleh masyarakatnya. Agama Islam yang masuk ke
Mandailing dan Angkola dibawa oleh kaum Paderi dari daerah Minangkabau.
Bagi
masyarakat Mandailing dan Angkola pada masa pra-Islam, musik merupakan bagian
yang tak dapat dipisahkan dari kegiatan religi dan upacara-upacara adat, baik
yang bersifat suka cita (siriaon) maupun duka cita (siluluton). Ensambel
musik tradisional mereka dikenal dalam tiga klasifikasi:
(1) gondang dua,
(2) gondang lima, dan
(3) gordang sambilan.
Gondang adalah
salah satu jenis musik yang terdapat di daerah Angkola yang dipakai dalam
pelaksanaan upacara adat na godang (tingkatan upacara adat yang paling
besar). Kata gondang mempunyai tiga macam pengetian. Pertama, gondang
berarti alat musik yaitu gendang yang terdiri dari gondang inang atau
gondang siayakkon dan gondang pangayakon. Kedua, gondang bisa
berarti lagu, misalnya lagu untuk suhut sihabolonan maka disebut dengan gondang
suhut sihabolonan, lagu untuk mora disebut dengan gondang
mora. Ketiga, gondang dapat juga berarti ensambel musik,
yakni alat-alat musik yang tergabung dalam satu unit. Sehingga jika orang
mengatakan main gondang, yang dimaksud bukan hanya memainkan instrument
gendang, tetapi memain kan satu ansambel musik yang terdiri dari 2 buah gondang
(gondang inang dan gondang pangayakon), 2 buah ogung,
1 buah suling, 1 buah doal, sepasang tali sasayat (simbal),
7 buah salempong, dan onang-onang (nyanyian), juga tortor.
Gondang menurut tradisi hanya dapat ditampilkan dalam konteks upacara adat
nagodang dalam suasana siriyaon (suka cita) saja, oleh karena itu
pula disebut dengan gondang maradat.
Dalam
bahasa Mandailing-Angkola nyanyian disebut juga dengan ende, sedangkan
bemyanyi disebut dengan marende. Ende dalam musik Angkola terbagi lagi
atas beberapa jenis menurut fungsi -dan penggunaannya, antara lain adalah:
(1) Onang-onang,
secara harafiah onang-onang tidak dapat diartikan, tetapi menurut beberapa
sumber kata onang berasal dari kata inang yang artinya "ibu." Onang-onang
adalah nyanyian yang fungsinya sebagai ungkapan kekecewaan dan pelepas
rindu kepada orang yang dikasihinya.
(2) Turke-turke adalah nyanyin
rakyat (lullaby song) masyarakat Angkola yang dinyanyikan oleh orang tua
(ayah atau ibu) untuk si buah hati (anak) 6 sampai 10 bulan. Turke-turke dinyanyikan
sebagai ungkapan perasaan suka cita orang tua terhadap kesehatan dan
pertumbuhan sang anak yang semakin bijak.
(3) Ungut-ungut, nyanyian
rakyat yang mengisahkan suasana kampung Sipirok atau Bunga Bondar. Dinyanyikan
oleh seorang pria sebagai ungkapan keluh kesahnya karena akan pergi merantau
jauh dari kampung halaman untuk mencari pekerjaan yang lebih layak demi masa
depan.
(4) Ile Onang Baya, nyanyian pelepas rindu dimana bila kita
mendengarnya akan terobati rasa rindu kepada orang yang kita cintai dan sayangi.
Nyanyian ini dinyanyikan oleh pemuda-pemudi untuk mengungkapkan perasaan
hatinya. Biasanya nyanyian ini dinyanyikan oleh seseorang di tempat yang jauh
dari keramaian umum. Masih banyak lagi musik vokal Angkola-Mandailing lainnya.
Gambar Tarian
Nias
masyarakat Nias memiliki
kepercayaan suku yang disebut Sanomba Adu.
Sanomba berarti menyembah, dan Adu
adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu sebagai media tempat roh
bersemayam. Adu untuk dewa-dewa ditempatkan
di osali boronadu, yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi Sanomba Adu. Mereka mempercayai
dewa-dewa, di antaranya: Luo Walangi sebagai
dewa pencipta alam semesta; Lature Sobawi
Sihono dewa pemilik dan penguasa babi; Uwu
Gere dewa pelindung dan penguasa para ere
(pemimpin religi Sanomba Adu); Uwu Wakhe
dewa penguasa tanam-tanaman; Gozo Tuha
Zangarofa dewa penguasa air, dan
lainnya.
Kemudian
datanglah agama Kristen ke Nias. Misionaris yang pertama kali datang ke Nias adalah
Denninger tahun 1865, tepatnya di Kota Gunung Sitoli. Sebelumnya ia sudah
bergaul dan belajar bahasa Nias dari orang-orang Nias yang bermukim di Padang. Pada
masa itu, orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 jiwa di Padang ini, merupakan
pendatang. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat,
dan kebudayaan Nias, hingga ia tertarik untuk datang ke Nias mengajarkan agama
Kristen, yang kemudian ternyata berhasil dengan baik. Misi Kristen kemudian
diteruskan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan
agama Kristen adalah antara tahun 1915-1930, masa ini disebut sebagai masa
pertobatan total (fangesa dodo sebua). Pada masa ini pula terjadi
perubahan-perubahan sikap. Patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan.
Poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung,
penyembuhan penyakit melalui fo’ere (dukun), dan sejenisnya sudah makin
berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias beragama Kristen.
Masyarakat
Nias mengenal derajat sosial berdasarkan kepimpinan dan tingkat-tingkat
kehidupan, yang disebut bosi. Sistem
pembagian tingkatan hidup manusia ini dijiwai oleh religi Nias pra-Kristen yang
disebut Sanomba Adu. Sistem pemerintahan tradisi pada masyarakat Nias
Utara, didasarkan atas pembahagian jabatan sebagai berikut:
(1) tuhenori,
tuhe berarti tunggul dan nori atau ori artinya kumpulan dari
beberapa banua (desa), tuhenori dipilih antara pimpinan banua
(salawa);
(2) salawa artinya yang tinggi. Salawa ini memimpin
satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai
pengertian: fa’atulo (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abolo
(kuat jasmani dan rohani), fokho (kaya atau memiliki banyak harta
dan benda) dan salawa sofu (berwibawa);
(3) satua mbanua, yaitu
penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan: tambalina
(wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaofa (orang
keempat).
Semua
jabatan pemerintahan tersebut diduduki oleh golongan bangsawan yang merupakan
keturunan pendiri desa. Golongan orang yang termasuk susunan pemerintahan desa
ini selalu mendapat perlakukan yang istimewa. Orang lain tidak dapat berbicara
dengan tidak sopan, selalu dihormati, selalu dijemput dan hadir dalam pesta
adat, seperti perkawinan, kematian, dan lainnya. Mereka memutuskan hal-hal
penting dalam pemerintahan desanya (W. Gulö 1983). Sistem penggolongan derajat
manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai
kehidupan akhirat. Pengertian bosi
ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk
berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan masuk ke dalam
sorga. Kedua belas bosi itu adalah:
fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro
doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao
omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli
(menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan);
mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan mame’e go nori (menjamu
orang satu ori, beberapa desa (wawancara
dengan Dasa Manao 1990).
Salah
satu jenis kesenian masyarakat Nias adalah seni musik. Adapun di antara
alat-alat musik Nias adalah sebagai berikut.
(a) Gondra alat musik membranofon
yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat pemukul ini disebut famo
gondra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai
sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu.
(b) Gong adalah alat
musik jenis gong berpencu, terdiri dari dua gong yaitu garamba dan faritia.
Garamba lebih besar dari faritia. Fungsi sosialnya adalah untuk
memberi berita yang terjadi di Medan perang, misalnya ada yang
meninggal.
(c) Tamburu, adalah gendang di Nias, ukurannya lebih
kecil dari gonda dan bagian luarnya tidak diikat oleh rotan
tetapi luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi
prosesi pengantin, lagu, dan tarian.
(d) Doli-doli adalah xilofon kayu laore
berupa bilahan-bilahan yang diletakkan di atas kaki pemainnya dan dipukul dengan
pemukul dari kayu. Alat musik ini kadang disebut juga dengan gambang.
(e)
Suling sebagai alat musik tiup, terbuat dari bambu lewuo mbanua.
(f) Ndruri adalah termasuk alat musik jew’s harp, memiliki satu
lidah yang disebut lela.
Kemudian
tari-tarian di Nias di antaranya adalah:
(a) Tari Maena, yaitu tari yang
biasa dipertunjukkan dalam acara pesta pernikahan, dan juga dilakukan untuk menyambut
para tamu kehormatan. Tari maena biasanya dilakukan di lapangan terbuka,
sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit untuk diikuti.
Variasi gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segitiga (tolu sagi)
dan gerakan kaki membentuk segi empat (ofa sagi) dengan kedua lengan
diayunkan ke depan dan ke belakang.
(b) Tari Moyo adalah tarianyang
menirukan gerakan burung elang yang sedang terbang. Ditarikan biasanya oleh
wanita. Tari ini difungsikan untuk acar terpenting, misalnya penobatan seseorang
menjadi bangsawan.
(c) Tari Faluaya dan Maluaya. Maluaya merupakan
tari persatuan sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh.
Aksinya menggambarkan sekelompok tentara yang sedang berperang. Properti
tarinya adalah pedang (balatu), tombak (toho), dan tameng (baluse).
(d) Tari Hombo Batu atau Lompat Batu merupakan tari yang berunsur
olah raga latihan perang melompati batu sebagai simbol budaya megalitikum. Demikian
sekilas musik dan tari di Nias, Sumatera Utara.
Gambar Tarian
Pakpak-Dairi
etnik ini
bertempat tinggal di sebahagian besar kawasan Kabupaten Dairi dan Pakpak
Bharat, yang sebahagian besar terdiri dari daratan tinggi dan bukit-bukit yang
ditumbuhi pohon-pohon yang m embentuk hutan tropis. Posisi koordinatnya
terletak di antara 98
sampai 99 dera jat 20’ Bujur Timur dan 20
sampai 30 derajat
15’ Lintang Utara.
Sebelum
masuknya ajaran Islam dan Kristen ke wilayah Pakpak-Dairi, pada kebudayaan
masyarakatnya terdapat beberapa bentuk kepercayaan yang berdasar kepada adanya
kekuatan ghaib pada tempat-tempat tertentu, benda-benda alam, dan alam semesta
memiliki kekuatan ghaib dengan adanya dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang.
Konsep kepercayaan akan adanya alam ghaib terbagi atas tiga bagian, yaitu:
Batara Guru (Dewa Pencipta), Tunggul ni Kuta
(Dewa Penjaga Kampung), dan Berraspati ni
Tanoh (Dewa yang Menguasai Tanah). Ketiga wujud kekuatan alam ini disebut
dengan Tri Tunggal Penguasa Alam. Mereka sebagai penganut kepercayaan kepada
kekuatan ghaib juga mempercayai adanya Sinaga
Ale (Dewa Penguasa Air), Jandi ni
Mora (Dewa Penjaga Udara) dan Mbarla
(makhluk ghaib yang menguasai ikan dalam air). Pada tahun 1908 perkembangan
agama Islam memasuki Pakpak-Dairi yang dibawa oleh Tuan Pakih Brutu dari daerah
Aceh. Pada mulanya penyebaran agama Islam selalu memberikan rangsangan di
hadapan orang banyak dengan menunjukkan kekuatan ghaib, seperti menggerakkan
batu, kayu, besi, yang diletakkan di atas tanah. Sebelum datangnya masa
kolonialisme Belanda, kelompok etnik Pakpak-Dairi dibagi ke dalam lima
golongan (puak), yaitu:
(1) Pakpak Boang yang tinggal di Lipat
Kajang dan Singkel, yang sekarang merupakan wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam bagian selatan;
(2) Pakpak Kelasen yang meliputi daerah
Parlilitan, Pakkat dan Manduamas, yang saat ini menjadi bagian wilayah Tapanuli
Bahagian Utara dan Tapanuli Tengah;
(3) Pakpak Kepas yang terdiri dari daerah
Sidikalang, Parongil, dan Banturaja, serta
(4) Pakpak Simsim berada di
Sukarame, Kerajaan, dan Salak.
Masyarakat
Pakpak-Dairi memberi nama ende-ende terhadap semua jenis musik vokalnya.
Untuk membedakan antara jenis nyanyian, di belakang kata ende-ende dilanjutkan
dengan nama nyanyiannya. Misainya, ende-ende anak melumang, yaitu
nyanyian ratapan seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang
tuanya yang sudah meninggal dunia; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian
mengambil kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian sambil kerja menjaga
padi dan tanam-tanaman di ladang, dan lain-lainnya. Umumnya masyarakat
Pakpak-Dairi membagi alat musiknya secara etnosains berdasarkan bentuk
penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya alat-alat
musik tersebut masih dibagi lagi atas dua kelompok:
(1) gotci dan
(2) oning-oning.
Sedangkan bedasarkan cara memainkannya instrumen musik tersebut terdiri atas
tiga kelompok, yaitu:
(1) sipalu,
(2) sisempulen, dan
(3) sipiltiken.
Gotci ialah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seperangkatan
(ensambel) terdiri dari: genderang sisibah, genderang silima, gendang
sidua-dua, gerantung, mbotul, gung, dan kalondang. Instrumen yang termasuk
ke dalam kelompok gotci adalah sebagai berikut, yang dimainkan bersama-sama
dengan gung sada rabaan (seperangkatan gong) yang terdiri dari empat
buah gong, yaitu secara berurutan dari gong terbesar hingga terkecil:
(1) panggora
(penyeru),
(2) poi (yang menyahuti),
(3) tapudep (pemberi
semangat), dan
(4) pongpong (yang menetapkan).
Instrumen lain yang
dipakai ialah sarune (double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal).
Pada saat sekarang, kedua instrumen ini hanya dipakai sewaktu-waktu
saja, artinya, bisa dipakai dan boleh juga tidak dipakai. Dalam
penyajiannya, ansambel gendang ini hanyalah dipakai pada jenis upacara
sukacita saja (kerja mbaik) pada tingkatan upacara yang terbesar dan tertinggi
secara adat (males bulung simbernaik) dan harus menyembelih kerbau sebagai
kurban pada upacara dimaksud. Genderang sisibah ialah seperangkat
gendang konis satu sisi yang jumlahnya sembilan. Dalam konteks
pertunjukan tradisional adat ensambel ini disebut Si Raja Gumeruguh,
sesuai suara yang dihasilkannya bergemuruh. Gendang satu disebut Si
Raja Gumeruguh pola ritemnya menginang-inangi atau menginduk;
gendang dua Si Raja Dumeredeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola
ritmik menjujuri atau mendonggil-donggili (mengagungkan, menghantarkan),
gendang ketiga sampai ketujuh, disebut Si Raja Menak-menak menghasilkan
pola ritmik benna kayu pembawa melodi (menenangkan), gendang kedelapan Si
Raja Kumerincing menghasilkan pola ritme menetehi (menyeimbangkan),
dan gendang kesembilan Si Raja Mengampuh menghasilkan pola ritmik menganak-anaki
atau tabil sondat [menghalang-halangi].
Genderang
si lima ialah
seperangkatan gendang (membranofon) satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari
lima buah gendang konis satu sisi. Kelima buah gendang ini adalah berasal dari genderang
sisibah dengan hanya menggunakan gendang pada bilangan ganjil saja diurut
dari gendang terbesar, yaitu gendang 1, 3, 5, 7, 9. Nama lain dari ensembel ini
ialah Si Raja Kumerincing [bergemerincing, meramaikan]. Adapun nama-nama
gendang berdasarkan urutan dari gendang terbesar hingga terkecil ialah: Si
Raja Gumeruguh dengan pola ritmik menginang-inangi (induk yang
bergemuruh); Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau
mendonggil-donggili (menghantarkan atau meneruskan); Si Raja
Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai [menenteramkan]; Gendang
VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai [meramaikan];
dan Si Raja Mengampuh memainkan pola ritmis menganaki [menyahuti,
mengikuti].
Ensambel
Gendang Sidua-dua terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barel.
Kedua gendang tersebut terdiri dari gendang inangna (gendang induk,
gendang ibu) yaitu gendang terbesar, dan gendang anakna (gendang anak, jantan)
yaitu gendang terkecil. Perangkat lain dari ensembel gendang sidua-dua ini
ialah empat buah gong (Pakpak-Dairi: gung sada rabaan), dan sepasang cilatcilat
(simbal). Dalam penyajiannya, ensambel gendang ini secara umum dipakai untuk
upacara ritual, seperti mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diusahai menjadi
lahan pertanian (mendegger uruk), dan hiburan saja, seperti upacara penobatan
raja, atau untuk mengiringi tarian pencak (moncak).
Gambar Tarian
SIMALUNGUN
berdasarkan
letak geografinya, Kabupaten atau juga wilayah budaya Simalungun ini membentang
antara 02 derjat 36’ sampai 3 derjat 18’
Lintang Utara dan 9 derjat 32’ sampai 9 derjat 35 ‘
Bujur Timur. Luas keseluruhan daerah Simalungun adalah 4,386.69 kilometer² atau
16.12% dari keseluruhan luas Provinsi Sumatera Utara. Menurut Jahutar Damanik
dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat Simalungun bahwa
istilah simalungun berasal dari pokok
kata lungun yang artinya sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi
malungun yang berarti suatu keadaan yang sunyi. Kemudian ditambah lagi
awalan kata si yaitu sebuah sebutan untuk menamakan suatu tempat. Jadi simalungun
berarti suatu nama bagi kawasan tanah yang disebut sunyi dan belum dikenal
orang. Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun,masih
relatif jarang penghuninya. Kini telah berubah seiring dengan perkembangan
zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat, dan karet.
Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang umumnya sebagai
buruh di perkebunan-perkebunan Belanda. Setelah habis masa kerja di perkebunan,
mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi Daerah Kabupaten Simalungun,
yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan Jawa.
Sebelumnya
kira-kira tahun 500–1290 M di daerah Simalungun telah berdiri sebuah kerajaan,
yang disebut Kerajaan Nagur dipimpin seorang raja yang bernama Damanik (Jahutar
Damanik 1974:33). Rakyatnya disebut suku Timur Raya, karena daerah Simalungun
ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba 1977:21). Setelah masa
pemerintahan Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan oleh Kerajaan Silou
(1290-1350). Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan
Silou, sehingga masing-masing wilayah memegang kekuasaan masing-masing. Tahun 1500-1906
di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja Maroppat. Kerajaan ini terdiri dari:
(1) Kerajaan Dolok Silou
dan
(2) Kerajaan Panei masing-masing dengan rajanya bermarga Purba;
(3)
Kerajaan Siantar yang rajanya bermarga Damanik; dan
(4) Kerajaan Tanah Jawa
yang rajanya bermarga Sinaga. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
tahun 1945, Simalungun menjadi Daerah Tingkat II Simalungun dan Kotamadya
Pematang Siantar, kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak 2000 yang
lalu berubah menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar.
Pada
awalnya, etnik Simalungun menganut suatu religi yang disebut dengan Sipajuh
Begu-begu atau Parbegu. Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam,
orang-orang Simalungun dapat dikelompokkan ke dalam orang-orang yang religinya
bersifat animisme. Orang-orang Simalungun yang beragama Kristen Protestan
terintegrasi ke dalam persekutuan iman gereja yang disebut Gereja Kristen
Protestan Simalungun (GKPS).
Sistem kekerabatan etnik Simalungun
berdasarkan kepada sistem keturunan patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil
disebut satangga, yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya.
Anggota kerabat satu ayah disebut sabapa, satu kakek disebut saompung.
Dalam masyarakat Simalungun dikenal istilah tolu sahundulan lima
saodoran (“kedudukan yang tiga barisan yang lima”), terdiri dari: tondong
(pihak pemberi isteri), sanina (pihak satu marga), dan anak
boru (pihak pengambil isteri). Ditambah dua kelompok lagi yaitu tondong
ni tondong (tondong dari pihak pemberi isteri) dan boru ni boru (boru
dari pengambil isteri). Pada setiap upacara adat dan pelaksanaan horja (pesta),
semua unsur kekerabatan tersebut selalu berperan. Mereka akan tampil dengan
mewujudkan sifat tolong-menolongnya. Pihak yang menyumbang uang atau beras
adalah tondong, sedangkan yang menyumbangkan tenaga adalah pihak boru.
Orang-orang Simalungun secara tradisi menyebut musik vokalnya (nyanyian) dengan
doding. Aktivitas menyanyikan doding ini disebut dengan mandoding.
Selain istilah doding, di dlam genre musik vokal Simalungun dikenal pula
istilah ilah dan inggou, yang juga mempunyai makna nyanyian. Perbedaan
antara ketiganya adalah hanya dikenal antara khusus untuk suatu nyanyian yang
dilagukan secara bersama-sama maupun untuk menyatakan nama sebuah musik vokal.
Penggolongan nyanyian yang dilakukan masyarakat, biasanya berdasarkan fungsinya
di dalam masyarakat, dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Etnik Simalungun
mempunyai dua jenis nyanyian yang diperuntukkan kepada anak-anak oleh orang tua
atau kakaknya yang disebut dengan urdo-urdo atau tihtah. Urdo-urdo
adalah suatu jenis nyanyian untuk menidurkan anak, sedangkan tihtah adalah
nyanyian anak bermain. Jika seorang anak telah lahir, maka yang bertanggung
jawab mengurus anak ini adalah ibunya, walaupun sebenarnya di rumah tinggal
mereka ada nenek si bayi, kakak si bayi, atau juga ayah si bayi. Biasanya,
menurut adat-istiadat Simalungun, pada masa bayi ini saudara perempuan dari
ayah si bayi yang disebut amboru, datang untuk menjaga si bayi. Secara
budaya amboru akan mengurus si bayi yang berjenis kelamin perempuan, Nyanyian
ungut-ungut bisanya dilagukan sambil melakukan pekerjaan menenun atau
menganyam tikar, yang disebutnya dengan nyanyian untuk mengisi keasyikan
bekerja.
Menurut
S.D. Purba (1994:149), yang disebut suatu nyanyian kerja tidak hanya sekedar
mengisi keasyikan bekerja saja., tetapi suatu nyanyian yang dapat membangkitkan
semangat bekerja. Dengan kata lain, nyanyian kerja adalah suatu nyanyian yang
mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat, sehingga dapat
menimbulkan gairah untuk bekerja. Bahkan suatu pekerjaan tidak dapat dilakukan
jika tidak diiringi nyanyian kerja ini. Orang Simalungun sedikitnya mengenal
dua buah nyanyian kerja, yaitu orlei dan lailullah. Nyanyian orlei
digunakan untuk membangkitkan semangat menarik kayu dari hutan yang disebut
manogu losung yang dijadikan lesung (lumpang). Nyanyian lailullah
digunakan untuk membangkitkan gairah bekerja menginjak padi agar terlepas
dari tangkainya. Di dalam acara manogu losung, penduduk desa secara
bergotong-royong sekitar 40 orang atau lebih secara bergantian menarik kayu
yang relatif besar ukurannya. Seorang ibu tua yang berfungsi sebagai pemimpin
bernyanyi secara solo, kemudian diikuti oleh penarik kayu yang memberi semangat
dan satu kesatuan dalam menarik kayu. Nyanyian ini berisi pujaan kepada dewa
kayu yang disebut Puang Boru Manik dan melalui bujuk rayu penyanyi
dengan menyebut-nyebut Puang Boru Manik, secara perlahan-lahan kayu
dapat tergeser, ditarik terus hingga sampai di desa. Selanjutnya nyanyian Lailullah
adalah nyanyian yang disajikan ketika pemudapemudi desa sedang mengirik
padi yang disebut dengan kegiatan mardogei. Mereka bersama-sama
melagukannya untuk membangkitkan semangat bekerja. Dengan menyanyikan lagu ini,
tanpa terasa pekerjaan mardogei dapat diselesaikan.
Di
dalam kebudayaan Simalungun dikenal istilah untuk menyebut ensambel musik
instrumentalnya, yaitu gonrang. Di dalam menyajikan gonrang ini
pada umumnya mempergunakan dua jenis ensambel, yaitu gonrang bolon atau gonrang
sipitu-pitu dan gonrang dua. Gonrang bolon terdiri dari tujuh
buah gendang yang berbentuk konis, yang ditempatkan pada sebuah rak dengan
susunan vertikal sekitar 80º, dengan ukuran dari yang besar hingga yang kecil
sekitar 120 sentimeter sampai 60 sentimeter. Ketujuh gonrang ini biasanya
dimainkan oleh dua orang pemain, satu orang memainkan enam gonrang dan gonrang
yang paling besar diaminkan oleh satu orang pemainnya. Selain ketujuh
gonrang tersebut ensambel ini ditambah oleh alat-alat musik seperti sarune
bolon (aerofon lidah ganda), tiga buah gong (suspended gong),
dan si tala sayak (simbal). Menurut legenda yang dipercayai oleh
masyarakatnya, ketujuh gonrang ini adalah penjelmaan tujuh orang putri dari
langit (kayangan) yang diutus ke dunia untuk mengawasi kesenian dan upacara-upacara
yang diinginkan oleh para dewa. Fungsinya biasanya untuk upacara-upacara
ritual, perkawinan, gereja, dan lain-lain. Gonrang ini pada saat permainannya
biasanya yang paling kecil tidak dimainkan, ditutupi oleh kain putih, sebagai
simbol untuk dimainkan oleh dewa yang turun pada upacara ini.
Kemudian
ensambel gonrang dua terdiri dari dua buah gonrang yang berbentuk
konis semi barel. Umumnya dimainkan masing-masing oleh seorang pemain, dengan
menggunakan telapak tangan untuk sisi kiri dan stik untuk sisi kanan. Biasanya
dimainkan dalam posisi duduk. Alat-alat musik lainnya biasanya sama dengan yang
dipergunakan dalam ensambel gonrang bolon. Perbedaannya secaar ensambel,
biasanya gonrang bolon dianggap
mempunyai gengsi yang lebih besar untuk disajikan dalam suatu upacara. Sarune
membawa melodi atau juga digantikan fungsi musikalnya oleh alat musik tulila (sejenis rekorder). Gonrang ini juga dilaras, sekali gus
membawa ritmis dan melodis. Kemudian dua gong digantung pada sebuah gantungan
dari papan dan kayu, yang fungsinya membawa siklus kolotomik dan fungtuasi
musik. Disertai satu buah gong yang dipegang dengan talinya dan dipukul menyela
antara dua gong yang digantung ini.
Gambar Tarian
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat diketahui mengenai keunikan SENI BUDAYA SUMATRA UTARA
yang telah dikaji, diantaranya ialah pengertian, asal-usul, tata gerak dan seni
budaya dari daerah masing-masing. Serta diuraikan mengenai upaya-upaya
melestarikan budaya tradisional tersebut. Begitu pentingnya kesenian dan budaya
bagi generasi muda dan tidak hanya di sumatra utara saja generasi muda melestarikannya
melainkan juga kewajiban seluruh masyarakat Indonesia karena seni dan budaya
merupakan salah satu kekayaan di Indonesia. Sehingga, alangkah baiknya apabila
kita menjaga kekayaan bangsa Indonesia, dan menjunjunganya hingga ke kancah
internasional sebagai wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap kesenian
tradisioanal kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar